Jumat, 20 Desember 2013

ANALISIS SATUA I NENGAH TINGGEN



Pendahuluan
Pesatnya kemajuan ilmu dan teknologi dewasa ini tidak saja menyebabkan dunia ini mengglobal, tetapi juga membawa perubahan dalam tatanan kehidupan manusia. Dalam masyarakat kita telah berlangsung pergeseran dan perubahan nilai karakter, baik di kota besar maupun perkampungan. Sebagai akibatnya, kehidupan tradisional  masih ditinggalkan. Setiap pribadi berpacu memperebutkan peluang yang dapat memberikan kesenangan atau kepuasan hidupnya. Masyarakat saat ini, khususnya anak-anak sudah mulai bersikap kebarat-baratan dan tidak mencerminkan nilai-nilai karakter daerah dan bangsanya. Oleh karena itu, gaya hidup mereka bersifat westernisasi.
Dalam sengitnya persaingan itu dan sikap-sikap seperti itu tidak jarang terjadi hal yang tidak wajar. Kemajuan material sering membuat orang lengah untuk menjaga keseimbangan lahiriah dan batiniah. Ilmu dan teknologi canggih yang diserap tanpa filter yang tangguh dapat mengakibatkan pergeseran dan perubahan pola pikir dan prilaku yang melecehkan nilai agama, budaya ,dan norma-norma yang hidup dalam masyarakat. Sebagai akibatnya, besar kemungkinan mereka akan kehilangan nilai-nilai luhur dan karakter itu serta lambat laun mereka akan kehilangan kepribadian jati dirinya.  Kondisi masyarakat dewasa ini sangat memprihatinkan. Hal ini dapat dilihat dari berbagai media yang memberitakan tentang kebobrokan moral. Seperti halnya tawuran.
            Dalam kamus bahasa Indonesia “tawuran”dapat diartikan sebagai perkelahian yang meliputi banyak orang. Tawuran, sepertinya masyarakat Indonesia sudah tidak asing lagi. Hampir setiap minggu, berita itu menghiasi media massa. Bukan hanya tawuran antar pelajar saja yang menghiasi kolom-kolom media cetak tetapi tawuran antar warga, antar kaum beragama, antara polisi dan mahasiswa. Semua hal itu sungguh menyedihkan. Inilah fenomena yang terjadi di masyarakat kita. Seperti contoh, tawuran antar pelajar yang terjadi tahun ini, yaitu menurut Detik News ,  Wahyu Kurniadi (19) pelajar SMK  35 meninggal setelah menjadi korban tawuran antar pelajar di Jalan Daan Mogot, Cengkareng, Jakarta Barat pada Rabu (15/5/2013). Selain itu,  tidak hanya pelajar bersangkutan menjadi korban, tetapi masyarakat di sekitarnya pun menjadi korban. Seperti yang terdapat dalam Detik News mengenai berita antar pelajar yang terjadi di Jakarta, Pengendara sepeda motor jadi korban penusukan seorang pelajar yang kocar-kacir dikejar Polisi saat tawuran di perlintasan rel kereta api Pesing, Kebon Jeruk, Jakarta Barat pada Jumat (19/4/2013).
 Tawuran antar pelajar maupun tawuran antar remaja semakin menjadi semenjaknya terciptanya geng-geng.Tawuran antar pelajar  sering dilakukan pada sekelompok remaja terutama oleh para pelajar. Bahkan para mahasiswa yang notabene orang yang berpendidikan tinggi dalam memecahkan masalah menggunakan kekerasan. Kekerasan sudah dianggap sebagai pemecah masalah yang sangat efektif di kaum remaja. Hal ini seolah menjadi bukti nyata bahwa seorang pelajar seolah-olah sangat leluasa untuk melakukan hal-hal yang bersifat anarkis dan premanis. Tentunya perilaku ini sangat merugikan orang yang terlibat dalam tawuran tersebut. Bahkan orang lain yang tidak terlibat juga merasakan dampak tawuran tersebut. Hal itu, mencerminkan bahwa diantara mereka masih belum tertanam nilai-nilai pendidikan karakter.
            Untuk mengatasi hal itu muncul pemikiran untuk memperkuat  pendidikan karakter yang dapat dilakukan melalui berbagai media, termasuk sastra. Terutama sastra tentang cerita rakyat daerah karena media tersebut merupakan salah satu cara yang tepat untuk menanamkan nilai-nilai pendidikan karakter bangsa (Boyer, 1995:6)
Pembelajaran yang memadai bukan hanya mengembangkan salah satu kecerdasan, akan tetapi seluruh kecerdasan manusia. Kecerdasan manusia secara operasional dapat digambarkan melalui tiga dimensi, yakni kognitif, psikomotorik, dan afektif. Melalui pengembangan kognitif, kapasitas berpikir manusia harus berkembang. Melalui pengembangan psikomotorik, kecakapan hidup manusia harus tumbuh. Melalui pengembangan afektif, kapasitas sikap manusia harus mulia. Hal ini sejalan dengan dasar pendidikan Indonesia, yakni mencerdaskan bangsa yang beriman dan bertakwa serta berakhlak mulia.
Sastra secara etimologis berarti alat untuk mendidik, sehingga bersifat didaktis. Hal ini sesuai dengan fungsi sastra yaitu dulce et ulite (nikmat dan bermanfaat). Kebermanfaatannya diketahui karena sastra di dalamnya terkandung amanat yaitu nilai moral yang bersesuaian dengan pendidikan karakter (Herfanda, 2008: 15). Banyak karya sastra lama dan modern yang mengandung pendidikan karakter, seperti kemanusiaan, harga diri, kritis, kerja keras, hemat.
Peran sastra atau cerita rakyat dalam pembentukan  karakter  bangsa tidak hanya didasarkan pada nilai yang terkandung di dalamnya. Pembelajaran sastra yang bersifat apresiatif pun sarat dengan pendidikan karakter (pritchard, 1988:12) Kegiatan membaca, mendengarkan, dan menonton karya sastra pada hakikatnya menanamkan  karakter tekun, berpikir kritis, dan berwawasan luas. Ratna (2004:123) menyatakan, pada saat yang bersamaan dikembangkan kepekaan perasaan sehingga pembaca cenderung cinta kepada kebaikan dan membela kebenaran. Hal ini sejalan dengan pernyataan Ki Hajar Dewantara yang menyatakan bahwa “Pendidikan adalah daya upaya untuk memajukan bertumbuhnya budi pekerti (kekuatan batin, karakter), pikiran (intellect) dan tubuh anak”.
Oleh karena itu,  perlu dikembangkan  pendidikan karakter  bagi para pelajar karena generasi muda yaitu kaum intelektual seperti pelajar mempunyai peranan penting bagi kemajuan bangsa ini sehingga, perlu menanamkan nilai- nilai pendidikan karakter (Najib, 2010:34).  Menurut kemendiknas, ada 18 nilai pendidikan karakter yang harus ditanamkan bagi masyarakat Indonesia, diantaranya disiplin, kerjakeras, tanggung jawab, jujur, demokratis, peduli sosial, peduli lingkungan, toleransi, religius, gemar membaca, bersahabat/komunikatif, cinta damai, menghargai prestasi, semangat kebangsaan, cinta tanah air, rasa ingin tahu, mandiri, dan kreatif. Oleh karena itu, untuk menanamkan nilai- nilai pendidikan karakter tersebut,  kita perlu  menganalisis karya sastra  yang berupa cerita rakyat daerah, yaitu Satua Bali dengan menganalisis nilai-nilai pendidikan karakter pada  kumpulan satua I Nengah Tinggen.          Berdasarkan latar belakang di atas tujuan penulisan artikel ini untuk menganalisis satua-satua karya I Nengah Tinggen, yaitu dari segi unsur intrinsic dan ekstrinsik, serta nilai-nilai pendidikan karakter yang terkandung dalam cerita. Satua-satua tersebut,  diantaranya satua I Cicing Gudig, satua Luh Sari, satua I Buta Teken I Rumpuh, satua Taluh Mas, dan satua I Belog.

Hasil dan Pembahasan
            Dalam setiap karya sastra pastilah ada unsur-unsur atau struktur intrinsik dan ekstrinsiknya. Oleh karena itu, terdapat pesan tertentu yang ingin disampaikan oleh seorang pengarang melalui karya sastra yang diciptakannya. Setiap penulis cerita yang menciptakan sebuah karya sastra tidak semata-mata menulis hanya untuk mengekspresikan pikiran dan gagasannya. Akan tetapi dibalik semua itu, ada pesan atau amanat yang disampaikan pengarang kepada para pembaca yang mengapresiasi tulisannya. Selain itu, terdapat pula nilai-nilai pendidikan karakter di dalamnya sebagai manfaat yang diterima oleh pembaca dalam menapresiasi sebuah karya sastra.
            5 cerita dari kumpulan Satua atau cerita I Nengah Tinggen, antara lain :
1.      Cerita atau satua I Cicing Gudig ( anjing yang sedikit memiliki bulu)
Ada sebuah cerita mengenai  seekor Cicing Gudig. Seperti namanya gudik, yaitu kurus kering, dan kotor karena tidak mempunyai bulu yang banyak. Oleh karena itu, banyak orang yang tidak suka padanya dan setiap orang yang bertemu dengannya, orang itu selalu mengusir atau memukulnya. Kadang ia menyesal dengan nasibnya. Suatu hari, ia pergi ke pasar dan melihat seorang dagang yang sedang makan dengan banyak lauk pauk. Oleh karena itu, ia ingin menjadi manusia supaya bias makan enak. Pada suatu malam Cicing pergi ke Pura Dalem dan memohon kepada Bhatara (Dewa) Durga agar ia dilahirkan menjadi manusia biasa. Permintaannya pun dikalbulkan. Ia menjadi manusia namun malas dan tidak mau bekerja. Ia sering mencuri dan sering ketahuan. Kemudian, Cicing Gudig lagi melakukan persembahyangan ke Pura Dalem dan meminta ke pada Bhatara Durga untuk menjadi seorang patih.permintaan itu pun dikabulkan. Ia menjadi seorang patih untuk Ida Sang Prabhu. Tetapi, ia pun  tidak senang dengan pekerjaan menjadi patih. Oleh karena itu, ia pun meminta untuk menjadi Anak Agung. Namun, ia pun terus mengeluh karena ia tidak bisa mengerjakan pekerjaan Anak Agung, yaitu berupa bimbingan-bimbingan. Cicing Gudig pun melakukan permintaan kembali kepada Dewi Durga untuk menjadi anak dari Anak Agung. Ia bernama Ida Raden Mantri. Suatu hari, Cicing Gudig harus belajar bersastra seperti yang telah dilakukan Ida Raden Mantri sehari-hari. Saat  belajar, Cicing Gudig tak bisa menjawab semua pertanyaan dari gurunya. Cicing Gudig pun di pukuli habis-habisan oleh gurunya dan terus mngeluarkan suara anjing kesakitan. Setelah kejadiaan itu, Cicing Gudig menyesal, ia pun kembali datang ke Pura Dalem  dan memohon kepada Dewi Durga agar ia kembali menjadi seekor anjing seperti semula. Kemudian, ia pun menjadi seekor anjing yang kurus kering dan tidak berbulu banyak (gudig).
Di dalam cerita tersebut terdapat unsur intrinsik, ekstrinsik, dan nilai-nilai pendidikan karakter. Unsur intrinsic dalam sebuah karya sastra adalah struktur dalam yang ada dalam cerita tersebut. Unsur intrinsic pada satua ini, meliputi Tema dalam cerita tersebut adalah kehidupan social, yaitu makhluk hidup (seekor anjing) dalam menjalani kehidupan. Tokohnya antara lain, Cicing Gudig , Bhatara Durga, dan guru sastra. Karakter Cicing Gudig, yaitu tidak bertanggung jawab dalam menjalani tugas, tidak pernah bersyukur, tidak tepat pendirian, suka mencuri, dan malas.
Kutipannya adalah sebagai berikut:
“ Beh keweh pesan I dewek dadi pepatih , tusing maan ngengken-ngengken, beg-beg busan-busan tangkil ke puri” (Tinggen, 2003: 19).
“ Dening I Cicing Gudig tusing bisa ngalih gae, tusing pati kone ngamah. Mara-maraan ngamah ulian memaling.” (Tinggen, 2003:18)
Selain itu, karakter Bhatara Durga : selalu menuruti apa kemauan makhluk hidup, dalam hal ini I Cicing Gudig. Kutipannya sebagai berikut:
 “ Ih iba Cicing Gudig, dadi iba ngacep nira, apa katunasang ?” (Tinggen, 2003:18)
 Sedangkan karakter  Guru sastra adalah tegas. Kutipannya adalah sebagai berikut:  
 “ Dening asing ajahina muah takonina I Cicing Gudig tuara karoan baana apa, saapan lantas kone gurune nglempagin I Cicing Gudig”. (Tinggen, 2003: 20)
            Latar tempat dan waktu dari cerita tersebut adalah  pasar dan  pura dalem. Waktunya adalah malam dan pagi.
 Kutipannya adalah sebagai berikut:
 “kacrita suba peteng, mebakti kone lantas I Cicing Gudig di pura dalem”. (tinggen, 2003:18)
 buin mani semengane, maorta ilang kone lantas Ida Raden Mantri”.( tinggen, 2003:18)
           Selanjutnya, alur/ plot yang digunakan dalam menceritakan satua tesebut adalah alur maju  karena menceritakan kehidupan seekor anjing dari ia menjadi anjing jelek hinnga menjadi anjing jelek kembali. Sudut pandang  yang digunakan pengarang dalam satua tersebut adalah sudut pandang orang kedua karena cerita dikisahkan menggunakan nama orang, yaitu I Cicing Gudig. Selain itu, amanat yang ada dalam satua tersebut, yaitu sebagai makhluk hidup ciptaan Tuhan kita harus tetap bersyukur dengan apa yang diberikan padanya dan kita harus tetap berusaha dan bekerja keras dalam menjalani kehidupan, walaupun kita bukan makhluk ciptaan tertinggi Tuhan.
Selain unsur intrinsik, unsur ekstrinsik dari cerita tersebut, yaitu:
-          kepercayaan/agama karena Cicing Gudig percaya bahwa untuk merubah wujud dirinya yang awalnya menurutnya jelek mampu berwujud manusia biasa dan yang mempunyai jabatan, sehingga ia percaya bahwa hal itu ia dapatkan dengan meminta kepada bhatara Durga. Dalam agama hindu bhatara Durga merupakan dewi yang berstana di pura Dalem.
Kutipannya adalah sebagai berikut:
” kacrita suba peteng, mebakti kone lantas I Cicing Gudig di pura Dalem. Medal lantas ida bhatari Durga tur ngandika teken I Cicing Gudig, (ih iba cicing gudig,dadi iba ngacep nira, apa katunasang?) matur I cicing gudig (inggih paduka bhatari, yan paduka bhatari ledang , titiang  mapinunas mangda dados dadi manusa) “. (tinggen,2003: 18)
-          keyakinan dan pandangan hidup, karena menurut Cicing Gudig ia yakin terhadap pandangannya bahwa kita bisa merubah wujud diri kita sesuai dengan  apa yang kita inginkan.
Kutipannya adalah sebagai berikut:
   sedek dina anu I Cicing Gudig mlispis ka pekene. Ada kone anak medaar di dagang nasine, ento kone nengnenga menek tuunanga dogen. Kene kenehne I Cicing Gudig (yan I dewek dadi manusa buka anake ento, kenken ya legan nyete ngamah , mebe soroh ane melah-melah. Ah kene baan nyanan lakar ka pura dalem, mapinunasan teken bhatari Durga apang dadi manusa)”. (tinggen, 2003:18)
Selain itu, ada pula nilai-nilai pendidikan karakter dalam cerita atau satua tersebut. Nilai-nilai pendidikan karakter yang terdapat pada satua ini adalah nilai pendidikan karakter berupa ketidakjujuran dan tidak bertanggungjawabnya I Cicing Gudig dalam mengemban tugas.
Kutipannya adalah sebagai berikut:
“ matur I patih saha bakti, (titiang mamitang lugra ratu sang prabhu, punapi awinan ddados cokor I ratu paragayan tulak saking paburuan? ) masaut I Cicing Gudig, ( kene patih, mawanan nira tulak, saking nira ngiringang sabda bahatara, tan kalugra nira malaksana mamati-mati. Kandikayang lantas nira tulak. To juru borose ada pinunasa teken nira, tusing ngiring mantuk, krana kadunga suba makenaan. Nira nglugrahin, mawanan tan pairingan nira mulih). Keto pamunyine I Cicing Gudig, teka jeg ngugu kone I Patih muah panjake ane len-lenan.” (Tinggen, 2003: 19)
mawanan kaupet kone I Cicing Gudig dadi anak Agung kene kone kenehne, (beh keweh pesan I dewek dadi agung, sewai-wai ngencanin anak mawikara dogen).” (Tinggen, 2003: 19)
Seperti terbaca dalam  kutipan di atas  I Cicing Gudig tidak mempunyai sifat kejujuran pada dirinya sendiri karena ia tidak pernah mengakui kepada orang lain bahwa dirinya itu sebenarnya seekor anjing. Oleh karena itu, untuk membohongi orang lain, ia selalu merubah wujud dirinya sendiri dan tidak pernah bersyukur terhadap apa yang ada pada dirinya. Selain itu, ia juga tidak bertanggung jawab dalam melaksanakan dan mengemban tugas. Jadi, sebaiknya kita tidak meniru prilaku I Cicing Gudig karena kita akan mendapat pahala yang tidak baik juga.
2.      Cerita atau satua Luh Sari
Ada sebuah keluarga yang hidup dengan bahagia, yaitu Pan Sari dan Men Sari. Sepasang suami istri tersebut mempunyai seorang anak perempuan yang cantik. Ia bernama Luh Sari. Luh Sari sangat disayang oleh kedua orang tuanya. Tetapi, saat ia berumur 3 tahun ibunya meninggal. Semenjak itu, Pan Sari sulit menjalani kehidupan. Oleh karena itu, untuk mengurus rumah tangganya, ia kembali menikah agar ada yang mengurusi Luh Sari. Namun, setelah menikah dengan perempuan yang dipilihnya, ibu tiri Luh Sari tidak menyayangi Luh Sari. Setiap ayahnya tidak berada di rumah Luh Sari terus dimarahi dan dipukuli.  Namun, jika ayahnya berada di rumah Luh Sari disayangi oleh ibu tirinya. Setiap hari, ia tidak diberi makan oleh ibu tirinya dan ia terus menangis dengan apa yang terjadi pada dirinya. Tetapi, ia juga tida mau memberitahukan ayahnya bagaimana kelakuan ibu tirinya karena jika hal itu dilakukan ia akan dupukul. Suatu hari, Luh Sari datang ke dapur untuk meminta nasi karena dari tadi ia menahan lapar. Namun, ketika ia meminta nasi, ibunya menyalahkan Luh Sari dengan marah-marah dan  berbicara kasar, serta memukulnya dengan sebilah kayu bakar. Bukannya nasi yang diberikan oleh ibunya, tapi abu dan bekas kayu bakar yang diberikan. Kemudian, Luh Sari pun keluar dari dapur dan menangis. Setelah di luar dapur, ia menemukan bulu-bulu ayam. Sambil menangis ia pun menancapkan bulu-bulu ayam itu di tubuhnya sehingga ia bisa terbang ke pohon. Di pohon itu pun, ia terus menangis. Kemudian, ketika ayahnya pulang tangisan Luh Sari didengar. Sedih melihat keadaan anaknya seperti itu, Pan Sari pun naik ke atas pohon dan mengajak Luh Sari untuk turun. Pan Sari tahu semua itu perbuatan istrinya.  Lalu, ia mencari istrinya dengan membawa kayu bakar dan memukuli istrinya hingga tak bisa berbuat apa-apa. Semenjak kejadian itu pun istrinya di usir dari rumah.
            Dalam cerita tersebut terdapat unsur intrinsik, ekstrinsik, dan nilai-nilai pendidikan karakter yang dapat dikembangkan dalam bermasyarakat. Unsur intrinsik dalam satua ini, yaitu tema dari satua itu adalah kehidupan social masyarakat (kehidupan keluarga).Tokoh- tokoh dalam satua tersebut, antara lain  Luh Sari, Pan Sari, dan ibu tiri Luh Sari. Karakter  Luh Sari dalam cerita tersebut baik, penurut, dan sabar. Kutipannya adalah sebagai berikut :
 “ Budi Luh Sari morahan teken bapane tusing bani, krana ia takut pesan teken memene, jalane ia tawanga mesadu teken bapane, tan pariwangda ia lakar maan bongkol sampat”. (Tinggen, 2003:21)
 “ Mara keto memene, ngeling kone Luh Sari mangilgilang, inget ia tekening iba lacur”. (Tinggen, 2003: 22)
Sedangkan karakter Pan Sari adalah penyayang dan bertanggung jawab. Kutipannya adalah sebagai berikut:
“Yen kalahine panakne ka umane, tuara ada ngempuang, jumah budi bareng ajak ka umane pedalem krana ia nu cenik”. (Tinggen, 2003:21)
 “ mara ia matolihan menek, tingaline pianakne sedih. Ditu sahasa ia menek ngalih pianakne ajaka tuun, lantas butbuta bulun siape ane ada di awak panakne”. (Tinggen, 2003: 22)
Selain itu, karakter dari Ibu tiri Luh Sari adalah jahat, kasar, dan tidak bertanggung jawab  sebagai seorang ibu. Kutipannya adalah sebagai berikut:
 “ kacrita kurenan pan sarine jani tusing pesan kone iyeng ngelah panak kualon. Sabilang Pan Sari tusing jumah, setata kone anake cerik maan munyi tan rahayu, tur pepes tig-tiga”. (Tinggen, 2003: 21)
 “keto pamunyin memene, laut nyemak aon teken katampalan wadahina kau, laut banga luh Sari. “nene nasi amah telahang!” (Tinggen, 2003: 22)
selain penokohan, alur/plot digunakan dalam satua tersebut adalah alur maju karena         menceritaka  kehidupan sebuah keluarga, dalam hal ini menceritakan kehidupan Luh Sari dari ia kecil hingga dewasa. Sedangkan,  latar tempat, waktu, dan suasana dalam cerita tersebut adalah  di rumah, pagi hari, dan suasananya menyedihkan.
Kutipannya adalah  sebagai berikut :
 “ Baan tuara dadi baana naanang basange seduk, laut ia kapaon ngidih nasi  memene”. (Tinggen, 2003: 21)
 “ Sedek dina anu semengan pesan kone bapane luas ka carik, krana ia  lakar ngjakang megae di uma”. (Tinggen, 2003: 21)
 “Mara keto memene ngeling kone Luh Sari mangilgilang, inget ia tekening iba lacur, katinggalin baan meme tur lantas ia pesuan”. (Tinggen, 2003: 22)
“ Bulun siape ento lantas duduka teken Luh Sari , pcek-paceke sik awakne. Ditu laut ia mekeber ka punyan bunute. Suba teked ia beduur ditu ia buin ngeling.” (Tinggen, 2003: 22)
 Selain itu, sudut pandang  digunakan pengarang dalam menceritakan satua tersebut adalah sudut pandang orang ketiga karena karena cerita dikisahkan menggunakan  orang nama orang, yaitu Luh Sari. Gaya bahasa yang terdapat pada cerita tersebut adalah “ ganggonggang gringsing kuning amahmu” dan “ gakgak gem, sulageh siar katemplung”. Selain itu, amanat yang terdapat dalam cerita tersebut, antara lain sebaiknya kita tetap sabar dalam menghadapi cobaan apapun, sebaiknya kita sebagai seorang ibu, hendaknya tetap menyayangi anak walaupun ia bukan anak kandung kita sendiri, dan berikanlah kasih sayangmu kepada orang lain dengan setulus hati.
Selain unsur intrinsik, terdapat pula unsur ekstrinsiknya. Unsur ekstrinsik cerita tersebut, yaitu struktur kehidupan sosial karena menceritakan kehidupan sosial keluarga dalam rumah tangga. Keluarga Luh Sari mengalami masalah. masalah tersebut berupa meninggalnya ibu Luh Sari (Men Sari) sehingga ayahnya (Pan Sari) menikah  kembali karena tidak  tega melihat keadaan Luh Sari yang masih masih kecil dan masih membutuhkan kasih sayang seorang ibu. Namun, ibu tirinya tidak menyayangi Luh Sari sepenuh hati, sehingga di dalam keluarga tersebut sering terjadi konflik antara ibu tiri dan anak tiri.
Kutipannya sebagai berikut:
Sasubanne Luh Sari kutus oton ditu bapanne nglimbakang kenehne ngalih timpal, jani inganan ia mekeneh krana suba ade ngempuang pianakne jumah, di nujune ia luas ka carik. Kacrita kurnan Pan Sarine tusing iyeng ngelah pianak kualon. Sabilang Pan Sari tusing jumah, setata kone anake cerik maan munyi tan rahayu tur pepes tigtiga”. (Tinggen, 2003:21)
Selain itu, nilai pendidikan karakter yang terdapat dalam cerita tersebut adalah Nilai pendidikan karakter yang terdapat dalam cerita atau satua ini adalah tidak adanya nilai karakter toleransi dan tanggung jawab. Kutipannya sebagi berikut :
 “Kacrita kurenan Pan Sarine jani tusing pesan kone iyeng ngelah pianak kualon.  Sabilang Pan Sari tusing jumah, setata kone anake cerik maan munyi tan rahayu, tur pespes tigtiga”. (Tinggen, 2003:21)
 “ (Meme bang ja icang ngidih nasi asopan, seduk gati basang icange, uli tuni icang tonden ngamah!) mara keto munyin anake cerik, laut memene nyemak saang kandikan sahasa jog matigtig tur mamatbat, kene munyine (dadi iba juari pongah ngidih nasi teken kai, apa suba sakayan ibane tampin kola, dadi tra dadi padengin nagih nidik. Eda bin iba tuara ngudiang-ngudiang, kai katiman uli mara kepit matan kaine baan nyagjagin bungut paon, kali jani tonden ngamah”.(Tinggen, 2003:22)
 Seperti terbaca pada kutipan di atas, isi cerita tersebut menceritakan seorang ibu tiri yang tidak bertanggung jawab terhadap anak tirinya. Selain itu, ibu tiri tersebut tidak pernah menghargai keberadaan anak tirinya, sehingga setiap hari anaknya dipukul dan dimarahinya. Ia hanya mementingkan dirinya sendiri. Oleh karena itu, kita tidak sepantasnya meniru prilaku ibu itu. Bagaimanapun dan siapapun kita dan orang lain itu, kita harus tetap menghargai dan bertanggung jawab terhadap anugerah apa yang telah diberikan kepada kita.
3.      Cerita atau satua I Buta teken I Rumpuh ( Si Buta dan Si Lumpuh)
Di sebuah desa hiduplah dua orang bersaudara yang miskin. kakaknya buta dan adiknya lumpuh. Mereka tidak bisa berbuat apa, mereka tidak bisa bekerja, dan mereka sering tidak makan. Suatu hari karena mereka tidak bisa menahan laparnya, Si Lumpuh mempunyai ide. Ia ingin pergi ke rumah-rumah penduduk untuk meminta-minta agar dapat makan. Namun, untuk melakukan hal itu Si Buta pesimis karena ia sadar, ia tidak bisa melihat dan adiknyapun tidak bisa berjalan. Tetapi, si Lumpuh tetap optimis karena ia merasa dibalik kekurangannya itu ia mempunyai kelebihan dan bisa saling melengkapi dengan saudaranya.  Ia pun meminta kakaknya untuk menggendongnya, karena ia yang akan menunjukkan jalan. Si Buta pun menyanggupinya, ia menggendong adiknya dari satu rumaah-ke rumah yang lain untuk meminta-minta agar bisa makan. Melihat hal itu, semua orang merasa kasihan dan prihatin kepada mereka. Ada yang memberikan mereka uang, nasi, buah-buahan, dan pakaian bekas. Kemudian, di desa tempat mereka meminta-minta, ada saudagar kacang yang melihat prilaku mereka seperti itu. Saudagar itu pun merasa kasihan pada mereka sehingga mereka pun diangkat menjadi anaknya karena saudagar itu tidak mempunyai anak. Di tempat itulah Si Buta dan Si Lumpuh hidup bahagia dan mereka selalu membantu saudagar itu untuk mengupas-ngupas kacang yang akan dijualnya.
              Di dalam cerita itu terdapat unsur intrinsik, unsur ekstrinsik, dan nilai-nilai pendidikan karakter. Struktur unsur intrinsic yang terdapat dalam cerita tersebut antara lain,  Tema yang terdapat dalam cerita itu adalah mengenai  kehidupan sosial masyarakat ( bekerja keras dan berusaha  dalam menjalani kehidupan). Tokoh yang ada dalam cerita itu adalah I Buta, I Rumpuh, dan Saudagar kacang. Karakter  I Buta, yaitu pekerja keras dan suka membantu.
 Kutipannya adalah sebagai berikut:
 “ Lantas ideh-ideh I Rumpuh gandonga ka umah-umah anake ngidih-ngidih kanti payu madaar.” (Tinggen, 2003:1)
Sedangkan, karakter I Rumpuh adalah pekerja keras,optimis dan suka membantu. Kutipannya adalah sebagai berikut :
 “ Beli tusing ningalin apan-apan, nanging kereng mejalan. Batis icange Rumpuh, nanging matan icange cedang . yen beneh munyin icange gandong icang, icang metujuin beli ambah-ambahan”. (Tinggen, 2003:1)
Selain itu, karakter Saudagar kacang adalah baik dan darmawan.
Kutipannya adalah sebagai berikut :
“ Mara ia ningalin kaanan I Buta ajaka I Rumpuh buka ento, lantas metu kenehne kapiolasan lakar nuduk I Buta  ajak I Rumpuh anggona pianak”. (Tinggen, 2003:1)
         Latar yang terdapat dalam cerita tersebut adalah latar tempat, waktu, dan suasana. Latar tersebut antara lain, di jalan (ka umah-umah anak) dan di rumah Saudagar kacang.
Kutipannya sebagai berikut:
“ Lantas ideh-ideh I Rumpuh gandonga kaumah-umah anake ngidih- ngidih”. (Tinggen, 2003:1)
“ I Buta ajaka I Rumpuh kendel pesan ajaka ditu , tur ia anteng pesan nulungin melut-melut kacang tanah”. (Tinggen, 2003:1)
           Latar suasana dalam cerita itu adalah menyedihkan.
Kutipannya sebagai berikut :
Lantas ideh-ideh I Rumpuh gandonga ka umah-umah anake ngidih-ngidih, kanti payu ia madaar. Mekejang anake kapiolasan, kangen ningalin unduke I Buta teken  I Rumpuh. Ada maang pipis ada maang nasi, ada maang woh-wohan, ada masih anake maang lungsuhan penganggo”. (Tinggen, 2003:1)
           Sudut pandang yang digunakan dalam satua tersebut adalah orang ketiga karena cerita dikisahkan menggunakan kata ganti orang ketiga, seperti mereka, dia, nama orang, yaitu I Buta dan I Rumpuh dan amanat yang terdapat dalam cerita itu adalah Kita harus tetap berusaha dan bekerja keras dalam menjalani kehidupan dan kita sebagai sesama makhluk hidup, hendaknya saling menolong dengan sesama.
Sedangkan unsur ekstrinsik yang terdapat dalam cerita ini, yaitu status sosial ekonomi karena menceritakan kedua saudara yang miskin dan cacat fisik sehingga ia tidak bisa bekerja untuk  memenuhi kebutuhannya, seperti makan sehari-hari. Oleh karena itu, kedua saudara tersebut bekerja keras dan berusaha dengan saling membantu untuk meminta-minta ke rumah-rumah orang agar bisa makan.
Kutipannya adalah sebagai berikut:
 “ Di desa anu ada anak tiwas panyamaan ajaka dadua. Ane kelihan buta, ane cerikan rumpuh. Krana ia tuara nyidayang nyemak gawe, jele kenken awai ia tuara madaar”. (Tinggen, 2003:1)
Sedangkan, nilai pendidikan karakter yang terdapat dalam cerita tersebut adalah nilai pendidikan karakter  kerja keras.
Kutipannya adalah sebagai berikut:                                                        
“Papineh adine kebenehang pesan teken I Buta, lantas ideh-ideh I Rumpuh gandonga ka umah-umah anake ngidih-ngidih, kanti payu ia madaar” (Tinggen, 2003:1)
“ Mara ia ningalin kaanan I Buta teken I Rumpuh buka ento, lantas metu kenehne kapiolasan lakar nuduk I Buta lan I Rumpuh anggona pianak” (Tinggen, 2003:1)
 Walupun keduanya (Buta dan Rumpuh) cacat fisik tetapi, mereka  penuh usaha dan kerja keras agar bisa makan untuk memenuhi kebutuhan hidupnya. Selain itu, mereka demokratis artinya  cara berfikir, bersikap, dan bertindak yang menilai sama hak dan kewajiban bersaudara, bahwa mereka sama-sama mempunyai hak dan kewajiban untuk bekerja keras mencari makan. Nilai pendidikan karakter lainnya, yaitu mereka bersahabat/komunikatif karena mereka dalam bertindak saling membantu dengan sesam saudaranya. Selain itu ada pula saudagar kacang yang mempunyai sifat peduli sosial terhadap sesama karena ia telah membantu I Buta dan I Rumpuh. Jadi, kita harus meniru sifat dan prilaku I Buta dan I Rumpu yang berkerjakeras, demokratis, dan bersahabat itu hingga mereka bisa makan dan mendapat bantuan. Selain itu, kita juga patut meniru sifat saudagar kacang yang peduli sosial karena ia telah menolong dan mengangkat anak yang membutuhkan bantuannya.
4.Cerita atau satua Taluh Mas (Telur Emas)
Di sebuah desa yaitu di Banjar Ayu, ada dua orang perempuan yang tidak berkeluarga. Mereka tinggal dalam lingkungan tempat tinggal sama. Perempuan yang pertama, sifatnya jahat. Ia tidak pernah membantu orang lain walaupun orang itu miskin dan selalu iri hati. Namun perempuan yang kedua, sifatnya baik ia suka menolong dan membantu orang lain, terutama orang miskin. Suatu hari ada seekor burung merpati yang jatuh karena dadanya terluka, sehingga ia tidak bisa terbang. Oleh karena itu, merpati itu jatuh  di halaman rumah orang yang bersifat jahat itu. Namun ketika orang itu melihat ada seekor merpati yang jatuh di halaman rumahnya, ia pun mengusir burung merpati tersebut karena curiga akan merusak tanaman rumahnya. Kemudian, burung tersebut pun berusaha untuk terbang. Namun, ia tidak bisa terbang jauh. Akhirnya, merpati itupun jatuh di halaman rumah seorang perempuan yang baik. Melihat burung merpati yang jatuh di halaman rumahnya, perempuan baik itu pun mengambil merpati itu dan mengobatinya serta merawatnya dengan baik. Setelah luka burung itu sudah sembuh, dilepaslah burung merpati itu. Pada malam hari, burung merpati itu datang kembali ke rumah perempuan baik yang telah menolongnya. Lalu ia masuk ke sangkarnya yang tadi dan ia pun bertelur emas. Setiap hari, burung merpati itu bertelur emas sehingga perempuan baik itu sangat senang karena diberikan telur emas oleh burung itu. Lambat laun ia pun menjadi orang kaya hingga orang terkaya di desanya. Oleh karena itu, perempuan yang meniliki sifat jahat iri hati kepadanya. Ia pun berusaha mencuru burung merpati itu dan membawa pulang ke rumahnya. Tetapi, burung merpati itu tidak mau bertelur seperti biasanya. Akhirnya karena menunggu lama, perempuan jahat itu marah kepada burung itu dan ingin membunuhnya. Setelah, ia melihat kembali sangkar burung itu, tiba-tiba burung itu berubah menjadi seekor ular yang besar berkepala 20. Ia pun kaget dan berteriak-teriak meminta tolong sehinnga banyak tetangganya yang keluar dengan membawa senjata tajam untuk membunuh ular tersebut. Namun, setelah orang-orang sampai di rumah perempuan jahat itu. Ular itu berubah menjadi burung merpati seperti semula dan terbang jauh kembali ke hutan. Semua orang-orang di sekitar sana heran melihat kesaktian burung merpati itu dan semua  masyarakat di sana menyalahkan perempuan jahat itu.
            Dalam cerita tersebut terdapat unsur intrinsik, unsur ekstrinsik, dan nilai-nilai pendidikan karakter. Unsur intrinsik  yang terdapat dalam cerita itu antara lain Tema dalam cerita tersebut adalah  kehidupan sosial, yaitu saling membantu terhadap sesama makhluk hidup dengan tulus ikhlas. Tokoh-tokoh yang terdapat dalam cerita tersebut adalah perempuan 1, perempuan 2, dan burung merpati. Karakter perempuan adalah baik dan suka membantu baik sesama, maupun makhluk hidup lain. Kutipannya adalah sebagai berikut :
“Melah pesan bikasne tur dana, ia demen nulungin anak tiwas” (Tinggen, 2003:4)
“ Mara tawanga ada dara ulung di pakaranganne, lantas ia nuduk darane ento, laut ubuhina melah-melah. Sasubane was tatune, lantas elebine” (Tinggen, 2003:4)
Sedangkan, karakter perempuan 2 adalah jahat, iri hati dan tidak suka membantu orang atau makhluk lain.
Kutipannya adalah sebagai berikut :
 “ Daane ane adiri jele pesan solahne, tusing demen nulungin anak tiwas, yadin ya nyidayang nulnungin, muah iri ati” (Tinggen, 2003:4)
 “ Mara daane ento nawang ada dara ulung dipakaranganne, lantas ia gedeg pesan sambilanga ngulah darane ento, kadene lakar ngusakang pamula-mulaane” (Tinggen, 2003:4)
Selain itu, karakter Burung Merpati adalah baik dan  mau membantu orang yang membutuhkan bantuannya.
 Kutipannya adalah sebagai berikut :
“Sawatara peteng dina, darane ento buin melipetan ka umah daane dana, nglantas mecelep ka guungane I pidan, laut metaluh mas. Keto sadina-dina darane ento malipetan kema, masih ia mataluh”(Tinggen, 2003:4)
 Latar yang terdapat dalam cerita itu adalah latar tempat, waktu, dan latar suasana. Latar tempatnya adalah rumah perempuan 1 dan 2.
Kutipannya adalah sebagai berikut:
 “ Sawatara peteng dina, darane ento buin melipetan ka umah daane dana, nglantas mecelep ka guungane I pidan, laut metaluh mas” (Tinggen,2003:4)
 “ Celepange ka guungane gelahne, pejanga jumah meten, apanga ia metaluh mas”.
Sedangkan, latar waktunya adalah malam hari.
Kutipannya adalah sebagai berikut:
 Sawatara peteng dina, darane ento buin melipetan ka umah daane dana, nglantas mecelep ka guungane I pidan, laut metaluh mas” (Tinggen,2003:4)
Serta, latar suasana dalam cerita itu adalah menegangkan dan menyedihkan. Kutipannya adalah sebagai berikut:
“ Mara ni daa corah ngungkabang jlanan guungane, nget darane ento  mesiluman dadi lelipi gede tur mandi, matendas duang dasa”. (Tinggen,2003:4)
 “ Laut mekeber darane  totonan sakereng-kerengne, nanging sing ada bisa nglantas,  ulung di pakarangan trunine dana” (Tinggen,2003:4)
         Selain itu, sudut pandang  yang digunakan dalam satua tersebut adalah sudut pandang orang ketiga karena cerita dikisahkan menggunakan kata ganti orang ketiga, seperti mereka, dia, nama orang yaitu perempuan 1 dan 2. Alur/plot yang digunakan dalam cerita itu adalah alur maju karena diceritakan secara bertahap yaitu dari pengenalan tokoh, hingga terdapat konflik yaitu datangnya burung merpati, hingga perempuan jahat mendapatkan karma karena perbuatan jahatnya. Serta, amanat yang terdapat dalam cerita tersebut antara lain, Sebagai sesama makhluk hidup hendaknya kita saling membantu dan dalam membantu sesama ciptaan Tuhan  kita lakukan dengan setulus ikhlas.
Unsur ekstrinsik dalam cerita ini yaitu mengenai kehidupan sosial karena  karena menceritakan kehidupan dua orang perempuan yang masing-masing belum berumah tangga yang tinggal di satu areal perkampungan. Perempuan yang pertama sifatnya jahat, iri hati, dan tidak suka membantu orang lain. Sedangkan,  Perempuan yang kedua sifatnya baik  dan ia  suka membantu sesama dan makhluk hidup lain sehingga ia mendapatkan pahala yang baik pula.
Kutipannya adalah sebagai berikut:
 “ Ada kone anak daa tua di Banjar Ayu, maumah mapunduh dadi apisaga. Daane ane adiri jele pesan solahne, tusing demen nukungin anak tiwas, yadin ya nulungin muah iri ati. Nanging daana lenan melah pesan bikasne tur dana, demen ia nulungin anak tiwas”.
Nilai pendidikan karakter yang terdapat dalam cerita ini, yaitu nilai karakter peduli sosial yang dimiliki perempuan baik dan nilai karakter tidak menghargai prestasi orang lain.
Kutipannya adalah sebagai berikut :
Ada kone anak daa tua di Banjar Ayu, maumah mapunduh dadi apisaga. Daane ane adiri jele pesan solahne, tusing demen nulungin anak tiwas, yadin ya nulungin muah iri ati. Nanging daana lenan melah pesan bikasne tur dana, demen ia nulungin anak tiwas”.
 “ Mara tawanga ada dara ulung di pakaranganne, lantas ia nuduk darane  ento, laut ubuhina melah-melah. Sasubane was tatune, lantas elebine”.
Nilai karakter yang dimiliki  perempuan yang baik adalah nilai peduli sosial karena  Ia mempunyai prilaku ini baik terhadap sesama maupun makhluk hidup lain. Terbukti ia telah membantu seekor burung yang sedang terluka. Selain itu, ada perempuan yang jahat ia tidak mempunyai nilai karakter menghargai prestasi karena ia selalu iri hati kepada orang lain yang selalu mendapatkan lebih daripada dirinya. Oleh karena itu, kita tidak sepantasnya berbuat seperti itu karena jika kita berbuat tidak baik, hasilnya pun akan tidak baik. Tetapi, kita patut meniru sifat atau prilaku sosial yang dilakukan oleh perempuan baik karena dengan kepeduliannya itu, ia mendapatkan imbalan baik dari burung itu berupa telur emas. Jadi, sebagai sesama ciptaan Tuhan kita harus saling membantu karena di dunia ini kita tidak hidup sendiri.
5.Cerita atau Satua I Belog (Si Bodoh)
Ada sebuah cerita Si Belog, ia hanya bermain dan makan. Suatu hari, Si Belog bermain ke sebuah desa yang tak ia kenal. Dalam perjalanan pulang ke rumah, ia melewati kuburan dan melihat mayat seorang wanita yang cantik. Si Belog pun terkaagum-kagum melihat mayat wanita itu, sehingga ia berpikir untuk membawanya pulang dan menjadikannya seorang istri. Ia pun menggendong mayat itu dan membawanya pulang. Setelah sampai di rumah, ia pun memasukkan mayat itu ke dalam kamarnya. Ia pun bercerita kepada ibunya bahwa ia sudah mempunyai seorang pacar cantik yang akan di peristrinya. Ibunya Si Belog pun bahagia karena Belog akan mempunyai istri. Kemudian, Si Belog pun mengambil nasi untuk diberikan kepada istrinya itu. Nasi itu pun ia letakan di samping mayat perempuan itu dan ia tinggalkan keluar karena dianggap istrinya malu makan nasi itu ada Si Belog. Namun, nasi dan lauk- lauk itu di makan oleh kucing sehingga makanan itu pun habis. Lalu setelah itu, Si Belog pun langsung masuk ke kamarnya kembali dan ia melihat makanan itu sudah habis. Ia pun sangat senang karena ia merasa istrinya itu yang makan nasi yang diberikannya. Oleh karena itu, hal itu pun terus Si Belog  lakukan tanpa ia tahu bahwa yang makan nasi itu adalah kucingnya. Ibunya pun merasa aneh mengapa menantunya itu tidak pernah keluar kamar. Kemudian ibunya pun menengok ke kamar. Ternyata yang ada di kamar itu adalah mayat. Ibunya mengatakan bahwa mayat itu adalah berbau busuk sehingga harus dijatuhkan ke dalam sumur. Si Belog pun menjatuhkan mayat itu ke dalam sumur. Suatu hari, karena ibunya belum mandi sehingga baunya tidak sedap. Oleh karena itu, Si Belog berpikir bahwa ibunya telah meninggal karena bau tubuhnya tidak enak. Ibunya pun di seret dan di jatuhkan ke dalam sumur, walaupun ibunya sudah teriak-teriak tapi Si Belog tidak menghiraukannya. Sejak itu pun Si Belog hidup sebatang kara dan tidaka ada yang mengajaknya bicara. Suatu hari Si Belog buang angin dan baunya pun tidak sedap. Oleh karena itu, ia juga menganggap bahwa dirinya telah meninggal sehingga ia pun menjatuhkan diri ke dalam sumur dan meninggal.
            Dalam cerita atau satua I Belog terdapat pula unsur intrinsik, unsur ekstrinsik, dan nilai-nilai pendidikan karakter. Unsur intrinsik dalam satua tersebut, yaitu  tema yang terdapat dalam cerita itu adalah kehidupan sosial masyarakat yaitu, kehidupan seorang manusia yang mempunyai tingkat pendidikan rendah dan kurangnya sosialisasi dengan masyarakat sehingga ia tidak tahu apa-apa (bodoh). Tokoh pada cerita itu adalah I Belog dan meme I Belog. Karakter I Belog dalam isi cerita itu adalah  bodoh, malas, dan ceroboh, sehingga dalam mengambil keputusan tidak dipikirkan matang-matang.
Kutipannya adalah sebagai berikut:
“ Ada orah-orahan satua I Belog, geginane melali dan madaar dogen”. ( Tinggen, 2003:10)
 “ mara ia neked di tengah semane nget nepukin ia bangken anak luh kaliwat jegeg pesan. I Belog lantas ngomong, ( luh-luh, nyak makurenan teken tiang?). anake ento mendep dogen. Sambilanga ngrengkeng keto , lantas bangkene ento abane mulih celepange ka jumah meten.” ( Tinggen, 2003:10)
“ Sambilanga ngomong keto, lantas memene kejuk tur kapaid kaba ka sembere.”
“Nujuang pesan I belog ngentut, tur bonne bengu. I Belog lantas mekeneh (beh I dewek mati jani, tonden med idup suba mati). Sambilanga ngomong keto, lantas ia melaib ka semere, lantas pulanga ibanne. Payu I Belog mati”. ( Tinggen, 2003:12)
Sedangkan, karakter Meme I Belog, yaitu mudah percaya dengan apa yang disampaikan oleh anaknya dan kurang perhatian terhadap anaknya, misalnya dalam hal   memberikan bimbingan.
Kutipannya adalah sebagai berikut:
“ Memene buin ngomong, ( men ija ia ento?). I Belog buin ngomong (ento apa ia jumah meten, nyen da delokina malu, krana ia lek)”. ( Tinggen, 2003:10)
Selain hal itu, ada pula latar dalam isi cerita tersebut. Latar yang terdapat adalah latar tempat  dan suasana dalam cerita. Latar tempat dalam cerita itu adalah di kuburan dan rumah I Belog.
 Kutipannya adalah sebagai berikut :
“Sedek dina anu I Belog malali-lali ka desa len. Di mulihne ia ngentasin sema linggah pesan”.
“ Sambilange ngrengkeng keto, lantas bangkene ento abana ka umahne, tur celepanga ka jumahan meten. I Belog lantas morahan teken memene”.
Sedangkan, latar suasana  adalah menyedihkan karena I Belog dan ibunya meninggal karena hal yang tidak wajar dan karena kecerobohan.
Kutipannya adalah sebagai berikut:
 “ Sambilanga ngomong keto, lantas memene kejuk, tur kapaid kaba ke sembere. Jet ja memene jerit-jerit, masih tusing linguanga lantas kacemplungang ka sembere.
 “ Jani I Belog nongos jumahne padidiana, tusing ada anak ngajak ngomong”.
“ Sambilanga ngomong keto lantas ia melaib ka semere, lantas pulanga ibane. Payu I Belog mati”.
          Sudut pandang: sudut pandang yang digunakan dalam satua tersebut adalah sudut pandang orang kedua karena cerita dikisahkan menggunakan nama orang, yaitu I Belog dan I Meme. Gaya bahasa yang terdapat dalam cerita I Belog, yaitu “ baan layah basangne lantas ia ka peken meli ubi, kasela, gatep,muah ane len-lenan, ane sarwa mudah-mudah.” Sedangkan, alur/ plot digunakan pengarang dalam satua I Belog adalah alur maju karena menceritakan suatu kejadian yang di awali dengan I Belog yang pergi jalan-jalan ke desa lain dan membawa mayat wanita hingga terjadi masalah dan sampai ia membunuh ibu serta dirinya sendiri. Selain itu, amanat yang disampaikan dari tangan kreatif pengarang cerita ini, yaitu jangan gegabah dalam mengambil keputusan yang belum kita ketahui atau pahami benar, sebagai makhluk yang mempunyai akal pikiran, manfaatkanlah hal tersebut sebaik-baiknya sesuai dengan logika/nalar, janganlah ceroboh dalam melakukan sesuatu karena hasilnya akan menjadi tidak baik, dan  sebagai orang tua hendaknya kita mampu membimbing anak kita ke depan agar ia mempunyai bekal atau pengalaman hidup dalam menjalani kehidupan sehari, baik di dalam  keluarga, maupun di dalam masyarakat.
Kemudian, Unsur ekstrinsik yang terdapat dalam cerita ini adalah tingkat pendidikan karena di dalam cerita ini menceritakan manusia yang tidak berintelektual dalam berpikir, bertindak, dan berbuat, yaitu yang bernama Si Belog yang mempunyai tingkat pendidikan rendah.
Kutipannya adalah sebagai berikut:
 “ Mara ia neked di tengah semane nget nepukin ia bangken anak luh kaliwat jegeg pesan. I Belog lantas ngomong, ( luh-luh, nyak makurenan teken tiang?). anake ento mendep dogen. Sambilanga ngrengkeng keto , lantas bangkene ento abane mulih celepange ka jumah meten” (Tinggen, 2003:10)
 “Nujuang pesan I belog ngentut, tur bonne bengu. I Belog lantas mekeneh (beh I dewek mati jani, tonden med idup suba mati). Sambilanga ngomong keto, lantas ia melaib ka semere, lantas pulanga ibanne. Payu I Belog mati” (Tinggen, 2003:12)
Dalam kehidupan sehari-hari Si belog sering melakukan hal-hal yang tidak logis dalam kehidupan sehari-harinya. Itu karena ia tidak bersekolah atau tidak berpendidikan. Seperti, salah menafsirkan pembicaraan ibunya dan mayat yang tidak dikenalnya ditemukan di kuburan dan dibawa pulang serta dijadikan istrinya.
           Selain  unsur intrinsik dan ekstrinsik yang terdapat pada cerita itu. Di dalam cerita tersebut mengandung pula nilai-nilai pendidikan karakter, diantaranya nilai karakter rasa ingin tahu dan gemar membaca. Namun, tokoh I Belog dalam cerita ini tidak mempunyai nilai karakter tersebut sehingga ia tidak tahu apa-apa atau bodoh dalam kehidupan sehari-hari. Rasa keingintahuan yang ia miliki tidak ia gunakan secara wajar sehingga, tidak  sesuai dengan logika serta kebutuhannya. Jadi, hal-hal kecil dalam kehidupan sehari-hari pun tidak ia ketahui. Oleh karena itu, hendaknya tokoh I Belog tersebut harus rajin atau gemar membaca agar tahu bagaimana kehidupan di luar agar mempunyai wawasan dan pengalaman hidup serta, kita juga dapat belajar dari lingkungan sekitar mengenai kehidupan saat ini.
“ Mara ia neked di tengah semane nget nepukin ia bangken anak luh kaliwat jegeg pesan. I Belog lantas ngomong, ( luh-luh, nyak makurenan teken tiang?). anake ento mendep dogen. Sambilanga ngrengkeng keto , lantas bangkene ento abane mulih celepange ka jumah meten” (Tinggen, 2003:10)
“ Lantas ia pesu ngalih I Belog  (ih Belog nguda cai ngejang anak suba mati jumahan meten?) I Belog masaut (nguda meme orahang mati kurenan icange ?) I Belog lantas ajaka ka umahan meten teken memene. I Belog lantas ngomong, (meme yan anake mati, bengu bonne)” (Tinggen, 2003:11).
Simpulan dan Saran
            Setelah melakukan analisis terhadap 5 satua karya I Nengah Tinggen dapat disimpulkan bahwa dalam satua-satua I Nengah Tinggen terdapat unsur intrinsik dan unsur ekstrinsik. Unsur instriknya, yaitu tema, tokoh, penokohan, alur, sudut pandang, gaya bahasa, latar, dan amanat. Sedangkan, unsur ekstrinsik yang terdapat pada kelima satua itu adalah struktur kehidupan sosial, tingkat pendidikan, keyakinan/agama, kepercayaan/pandangan hidup, dan status sosial ekonomi. Selain itu, terdapat pula nilai-nilai pendidikan karakter yang disampaikan dalam cerita tersebut. Tidak hanya nilai pendidikan karakter baik saja yang ada pada cerita  itu. Namun , ada pula nilai pendidikan karakter tidak baik yang tidak sepantasnya kita tiru karena jika kita berbuat baik maka hasilnya pun akan baik pula, begitupun sebaliknya jika kita berbuat jahat/ tidak baik maka hasilnya pun tidak baik. Oleh karena itu, banyak hal yang disampaikan penulis dalam kumpulan satua-satuanya, seperti pesan yang tersirat dan tersurat yang disampaikan dalam cerita tersebut. Nilai-nilai pendidikan karakter yang terdapat pada kelima cerita itu, yaitu jujur, tanggung  jawab, kerja keras, peduli sosial, bersahabat, demokratis, gemar  membaca, rasa ingin tahu dan kesabaran sehingga, dengan nilai-nilai pendidikan karakter yang terdapat dalam cerita rakyat tersebut dapat membangun karakter generasi muda ke arah yang lebih baik.
                     Cerita rakyat yang berupa cerita daerah merupakan salah satu jenis sastra yang dapat digunakan sebagai cara dalam pembentukan karakter. Mengingat akan hal itu, kita berharap sastra dan apresiasi sastra, baik di sekolah maupun di masyarakat dapat berperan penting dalam pembentukan karakter bangsa. Pembahasan dan analisis mengenai sebuah karya sastra sangat penting untuk terus dilakukan agar nilai-nilai atau pesan yang terkandung dalam setiap karya sastra dapat disosialisasikan I kepada generasi berikutnya.



                                                DAFTAR PUSTAKA

Herfanda, A.Y. 2008. ”Sastra sebagai Agen Perubahan Budaya” dalam Bahasa dan Budaya   dalam Berbagai   Perspektif, Aanwar Effendi, ed. Yogyakarta: FBS UNY dan Tiara
Boyer,E.L. 1995. Character in the Basic School, Making a Commitment to Character.
Koesoema A, Doni. 2007. Pendidikan Karakter, Strategi Mendidik Anak di Zaman Global.      Jakarta: PT. Gramedia Widiasarana Indonesia (Grasindo)
Megawangi, Ratna. 2004. Pendidikan Karakter, Solusi Tepat untuk Membangun Bangsa. BP Migas: Star Energy.
Sulhan,  Najib. 2010. Pendidikan Berbasis Karakter. Surabaya: Jaring Pena.

Daftar laman
http://CIPTA DEWI.blogspot.com/p/SASTRA PENDIDIKAN-KARAKTER.html
https://www.google.com/#output=search&sclient=psy-ab&q=artikel+mengenai+pentingnya+sastra+dalam+membangun+pendidikan+karakter&oq=artikel+mengenai+pentingnya+sastra+dalam+membangun+pendidikan+karakter&gs
                                                                

Tidak ada komentar:

Posting Komentar