Pendahuluan
Pesatnya
kemajuan ilmu dan teknologi dewasa ini tidak saja menyebabkan dunia ini
mengglobal, tetapi juga membawa perubahan dalam tatanan kehidupan manusia.
Dalam masyarakat kita telah berlangsung pergeseran dan perubahan nilai karakter,
baik di kota besar maupun perkampungan. Sebagai akibatnya, kehidupan
tradisional masih ditinggalkan. Setiap
pribadi berpacu memperebutkan peluang yang dapat memberikan kesenangan atau
kepuasan hidupnya. Masyarakat saat ini, khususnya anak-anak sudah mulai
bersikap kebarat-baratan dan tidak mencerminkan nilai-nilai karakter daerah dan
bangsanya. Oleh karena itu, gaya hidup mereka bersifat westernisasi.
Dalam sengitnya persaingan itu dan
sikap-sikap seperti itu tidak jarang terjadi hal yang tidak wajar. Kemajuan
material sering membuat orang lengah untuk menjaga keseimbangan lahiriah dan
batiniah. Ilmu dan teknologi canggih yang diserap tanpa filter yang tangguh
dapat mengakibatkan pergeseran dan perubahan pola pikir dan prilaku yang melecehkan
nilai agama, budaya ,dan norma-norma yang hidup dalam masyarakat. Sebagai
akibatnya, besar kemungkinan mereka akan kehilangan nilai-nilai luhur dan
karakter itu serta lambat laun mereka akan kehilangan kepribadian jati
dirinya. Kondisi masyarakat dewasa ini sangat memprihatinkan. Hal ini
dapat dilihat dari berbagai media yang memberitakan tentang kebobrokan moral.
Seperti halnya tawuran.
Dalam
kamus bahasa Indonesia “tawuran”dapat diartikan sebagai perkelahian yang meliputi
banyak orang. Tawuran,
sepertinya masyarakat Indonesia sudah tidak asing lagi. Hampir setiap minggu,
berita itu menghiasi media massa. Bukan hanya tawuran antar pelajar saja yang
menghiasi kolom-kolom media cetak tetapi tawuran antar warga, antar kaum
beragama, antara polisi dan mahasiswa. Semua hal itu sungguh menyedihkan.
Inilah fenomena yang terjadi di masyarakat kita. Seperti contoh, tawuran antar
pelajar yang terjadi tahun ini, yaitu menurut Detik News ,
Wahyu Kurniadi (19) pelajar SMK 35 meninggal setelah menjadi korban tawuran
antar pelajar di Jalan Daan Mogot, Cengkareng, Jakarta Barat pada
Rabu (15/5/2013).
Selain itu, tidak hanya pelajar
bersangkutan menjadi korban, tetapi masyarakat di sekitarnya pun menjadi
korban. Seperti yang terdapat dalam Detik News mengenai berita antar pelajar
yang terjadi di Jakarta, Pengendara sepeda motor jadi korban
penusukan seorang pelajar yang kocar-kacir dikejar Polisi saat tawuran di
perlintasan rel kereta api Pesing, Kebon Jeruk, Jakarta Barat pada Jumat
(19/4/2013).
Tawuran antar pelajar maupun tawuran antar
remaja semakin menjadi semenjaknya terciptanya geng-geng.Tawuran antar pelajar sering dilakukan pada sekelompok remaja
terutama oleh para pelajar. Bahkan para mahasiswa yang notabene orang yang berpendidikan
tinggi dalam memecahkan masalah menggunakan kekerasan. Kekerasan sudah dianggap
sebagai pemecah masalah yang sangat efektif di kaum remaja. Hal ini seolah
menjadi bukti nyata bahwa seorang pelajar seolah-olah sangat leluasa untuk
melakukan hal-hal yang bersifat anarkis dan premanis. Tentunya perilaku ini
sangat merugikan orang yang terlibat dalam tawuran tersebut. Bahkan orang lain
yang tidak terlibat juga merasakan dampak tawuran tersebut. Hal
itu, mencerminkan bahwa diantara mereka masih belum tertanam nilai-nilai
pendidikan karakter.
Untuk
mengatasi hal itu muncul pemikiran untuk memperkuat pendidikan karakter yang dapat dilakukan
melalui berbagai media, termasuk sastra. Terutama sastra tentang cerita rakyat
daerah karena media tersebut merupakan salah satu cara yang tepat untuk
menanamkan nilai-nilai pendidikan karakter bangsa (Boyer, 1995:6)
Pembelajaran
yang memadai bukan hanya mengembangkan salah satu kecerdasan, akan tetapi
seluruh kecerdasan manusia. Kecerdasan manusia secara operasional dapat
digambarkan melalui tiga dimensi, yakni kognitif, psikomotorik, dan afektif.
Melalui pengembangan kognitif, kapasitas berpikir manusia harus berkembang.
Melalui pengembangan psikomotorik, kecakapan hidup manusia harus tumbuh.
Melalui pengembangan afektif, kapasitas sikap manusia harus mulia. Hal ini
sejalan dengan dasar pendidikan Indonesia, yakni mencerdaskan bangsa yang
beriman dan bertakwa serta berakhlak mulia.
Sastra secara etimologis berarti
alat untuk mendidik, sehingga bersifat didaktis. Hal ini sesuai dengan fungsi
sastra yaitu dulce et ulite (nikmat dan bermanfaat). Kebermanfaatannya
diketahui karena sastra di dalamnya terkandung amanat yaitu nilai moral yang
bersesuaian dengan pendidikan karakter (Herfanda, 2008: 15). Banyak karya
sastra lama dan modern yang mengandung pendidikan karakter, seperti
kemanusiaan, harga diri, kritis, kerja keras, hemat.
Peran sastra atau cerita rakyat
dalam pembentukan karakter bangsa tidak hanya didasarkan pada nilai
yang terkandung di dalamnya. Pembelajaran sastra yang bersifat apresiatif pun sarat
dengan pendidikan karakter (pritchard, 1988:12) Kegiatan membaca, mendengarkan,
dan menonton karya sastra pada hakikatnya menanamkan karakter tekun,
berpikir kritis, dan berwawasan luas. Ratna (2004:123) menyatakan, pada saat
yang bersamaan dikembangkan kepekaan perasaan sehingga pembaca cenderung cinta
kepada kebaikan dan membela kebenaran. Hal ini sejalan dengan
pernyataan Ki Hajar Dewantara yang menyatakan bahwa “Pendidikan adalah daya
upaya untuk memajukan bertumbuhnya budi pekerti (kekuatan batin, karakter),
pikiran (intellect) dan tubuh anak”.
Oleh
karena itu, perlu dikembangkan pendidikan karakter bagi para pelajar karena generasi muda yaitu
kaum intelektual seperti pelajar mempunyai peranan penting bagi kemajuan bangsa
ini sehingga, perlu menanamkan nilai- nilai pendidikan karakter (Najib,
2010:34). Menurut kemendiknas, ada 18
nilai pendidikan karakter yang harus ditanamkan bagi masyarakat Indonesia,
diantaranya disiplin, kerjakeras, tanggung jawab, jujur, demokratis, peduli
sosial, peduli lingkungan, toleransi, religius, gemar membaca,
bersahabat/komunikatif, cinta damai, menghargai prestasi, semangat kebangsaan,
cinta tanah air, rasa ingin tahu, mandiri, dan kreatif. Oleh karena itu, untuk
menanamkan nilai- nilai pendidikan karakter tersebut, kita perlu menganalisis karya sastra yang berupa cerita rakyat daerah, yaitu Satua
Bali dengan menganalisis nilai-nilai pendidikan karakter pada kumpulan satua I Nengah Tinggen. Berdasarkan latar belakang di atas
tujuan penulisan artikel ini untuk menganalisis satua-satua karya I Nengah
Tinggen, yaitu dari segi unsur intrinsic dan ekstrinsik, serta nilai-nilai
pendidikan karakter yang terkandung dalam cerita. Satua-satua tersebut, diantaranya satua I Cicing Gudig, satua Luh
Sari, satua I Buta Teken I Rumpuh, satua Taluh Mas, dan satua I Belog.
Hasil dan Pembahasan
Dalam setiap karya sastra pastilah
ada unsur-unsur atau struktur intrinsik dan ekstrinsiknya. Oleh karena itu,
terdapat pesan tertentu yang ingin disampaikan oleh seorang pengarang melalui
karya sastra yang diciptakannya. Setiap penulis cerita yang menciptakan sebuah
karya sastra tidak semata-mata menulis hanya untuk mengekspresikan pikiran dan
gagasannya. Akan tetapi dibalik semua itu, ada pesan atau amanat yang
disampaikan pengarang kepada para pembaca yang mengapresiasi tulisannya. Selain
itu, terdapat pula nilai-nilai pendidikan karakter di dalamnya sebagai manfaat
yang diterima oleh pembaca dalam menapresiasi sebuah karya sastra.
5
cerita dari kumpulan Satua atau cerita I Nengah Tinggen, antara lain :
1.
Cerita
atau satua I Cicing Gudig ( anjing yang sedikit memiliki bulu)
Ada
sebuah cerita mengenai seekor Cicing
Gudig. Seperti namanya gudik, yaitu kurus kering, dan kotor karena tidak
mempunyai bulu yang banyak. Oleh karena itu, banyak orang yang tidak suka
padanya dan setiap orang yang bertemu dengannya, orang itu selalu mengusir atau
memukulnya. Kadang ia menyesal dengan nasibnya. Suatu hari, ia pergi ke pasar
dan melihat seorang dagang yang sedang makan dengan banyak lauk pauk. Oleh
karena itu, ia ingin menjadi manusia supaya bias makan enak. Pada suatu malam
Cicing pergi ke Pura Dalem dan memohon kepada Bhatara (Dewa) Durga agar ia
dilahirkan menjadi manusia biasa. Permintaannya pun dikalbulkan. Ia menjadi
manusia namun malas dan tidak mau bekerja. Ia sering mencuri dan sering
ketahuan. Kemudian, Cicing Gudig lagi melakukan persembahyangan ke Pura Dalem
dan meminta ke pada Bhatara Durga untuk menjadi seorang patih.permintaan itu
pun dikabulkan. Ia menjadi seorang patih untuk Ida Sang Prabhu. Tetapi, ia
pun tidak senang dengan pekerjaan
menjadi patih. Oleh karena itu, ia pun meminta untuk menjadi Anak Agung. Namun,
ia pun terus mengeluh karena ia tidak bisa mengerjakan pekerjaan Anak Agung,
yaitu berupa bimbingan-bimbingan. Cicing Gudig pun melakukan permintaan kembali
kepada Dewi Durga untuk menjadi anak dari Anak Agung. Ia bernama Ida Raden
Mantri. Suatu hari, Cicing Gudig harus belajar bersastra seperti yang telah
dilakukan Ida Raden Mantri sehari-hari. Saat belajar, Cicing Gudig tak bisa menjawab semua
pertanyaan dari gurunya. Cicing Gudig pun di pukuli habis-habisan oleh gurunya
dan terus mngeluarkan suara anjing kesakitan. Setelah kejadiaan itu, Cicing
Gudig menyesal, ia pun kembali datang ke Pura Dalem dan memohon kepada Dewi Durga agar ia kembali
menjadi seekor anjing seperti semula. Kemudian, ia pun menjadi seekor anjing
yang kurus kering dan tidak berbulu banyak (gudig).
Di
dalam cerita tersebut terdapat unsur intrinsik, ekstrinsik, dan nilai-nilai
pendidikan karakter. Unsur intrinsic dalam sebuah karya sastra adalah struktur
dalam yang ada dalam cerita tersebut. Unsur intrinsic pada satua ini, meliputi Tema
dalam cerita tersebut adalah kehidupan social, yaitu makhluk hidup (seekor
anjing) dalam menjalani kehidupan. Tokohnya antara lain, Cicing Gudig , Bhatara
Durga, dan guru sastra. Karakter Cicing Gudig, yaitu tidak bertanggung jawab
dalam menjalani tugas, tidak pernah bersyukur, tidak tepat pendirian, suka
mencuri, dan malas.
Kutipannya
adalah sebagai berikut:
“
Beh keweh pesan I dewek dadi pepatih , tusing maan ngengken-ngengken, beg-beg
busan-busan tangkil ke puri” (Tinggen, 2003: 19).
“
Dening I Cicing Gudig tusing bisa ngalih gae, tusing pati kone ngamah.
Mara-maraan ngamah ulian memaling.” (Tinggen, 2003:18)
Selain
itu, karakter Bhatara Durga : selalu menuruti apa kemauan makhluk hidup, dalam
hal ini I Cicing Gudig. Kutipannya sebagai berikut:
“ Ih iba Cicing Gudig, dadi iba ngacep nira,
apa katunasang ?” (Tinggen, 2003:18)
Sedangkan karakter Guru sastra adalah tegas. Kutipannya adalah
sebagai berikut:
“ Dening asing ajahina muah takonina I Cicing
Gudig tuara karoan baana apa, saapan lantas kone gurune nglempagin I Cicing
Gudig”. (Tinggen, 2003: 20)
Latar tempat dan waktu dari cerita
tersebut adalah pasar dan pura dalem. Waktunya adalah malam dan pagi.
Kutipannya adalah sebagai berikut:
“kacrita suba peteng, mebakti kone
lantas I Cicing Gudig di pura dalem”. (tinggen, 2003:18)
“buin mani semengane, maorta ilang kone
lantas Ida Raden Mantri”.( tinggen, 2003:18)
Selanjutnya, alur/ plot yang
digunakan dalam menceritakan satua tesebut adalah alur maju karena menceritakan kehidupan seekor anjing
dari ia menjadi anjing jelek hinnga menjadi anjing jelek kembali. Sudut pandang
yang digunakan pengarang dalam satua
tersebut adalah sudut pandang orang kedua karena cerita dikisahkan menggunakan nama
orang, yaitu I Cicing Gudig. Selain itu, amanat yang ada dalam satua tersebut,
yaitu sebagai makhluk hidup ciptaan Tuhan kita harus tetap bersyukur dengan apa
yang diberikan padanya dan kita harus tetap berusaha dan bekerja keras dalam menjalani
kehidupan, walaupun kita bukan makhluk ciptaan tertinggi Tuhan.
Selain
unsur intrinsik, unsur ekstrinsik dari cerita tersebut, yaitu:
-
kepercayaan/agama karena Cicing Gudig
percaya bahwa untuk merubah wujud dirinya yang awalnya menurutnya jelek mampu
berwujud manusia biasa dan yang mempunyai jabatan, sehingga ia percaya bahwa
hal itu ia dapatkan dengan meminta kepada bhatara Durga. Dalam agama hindu
bhatara Durga merupakan dewi yang berstana di pura Dalem.
Kutipannya adalah
sebagai berikut:
” kacrita suba peteng,
mebakti kone lantas I Cicing Gudig di pura Dalem. Medal lantas ida bhatari
Durga tur ngandika teken I Cicing Gudig, (ih iba cicing gudig,dadi iba
ngacep nira, apa katunasang?) matur I cicing gudig (inggih paduka bhatari,
yan paduka bhatari ledang , titiang
mapinunas mangda dados dadi manusa) “. (tinggen,2003: 18)
-
keyakinan dan pandangan hidup, karena
menurut Cicing Gudig ia yakin terhadap pandangannya bahwa kita bisa merubah
wujud diri kita sesuai dengan apa yang
kita inginkan.
Kutipannya adalah
sebagai berikut:
“ sedek
dina anu I Cicing Gudig mlispis ka pekene. Ada kone anak medaar di dagang
nasine, ento kone nengnenga menek tuunanga dogen. Kene kenehne I Cicing Gudig
(yan I dewek dadi manusa buka anake ento, kenken ya legan nyete ngamah , mebe
soroh ane melah-melah. Ah kene baan nyanan lakar ka pura dalem, mapinunasan
teken bhatari Durga apang dadi manusa)”. (tinggen, 2003:18)
Selain itu,
ada pula nilai-nilai pendidikan karakter dalam cerita atau satua tersebut.
Nilai-nilai pendidikan karakter yang terdapat pada satua ini adalah nilai
pendidikan karakter berupa ketidakjujuran dan tidak bertanggungjawabnya I
Cicing Gudig dalam mengemban tugas.
Kutipannya adalah sebagai
berikut:
“ matur I patih saha bakti,
(titiang mamitang lugra ratu sang prabhu, punapi awinan ddados cokor I ratu
paragayan tulak saking paburuan? ) masaut I Cicing Gudig, ( kene patih, mawanan
nira tulak, saking nira ngiringang sabda bahatara, tan kalugra nira malaksana
mamati-mati. Kandikayang lantas nira tulak. To juru borose ada pinunasa teken
nira, tusing ngiring mantuk, krana kadunga suba makenaan. Nira nglugrahin,
mawanan tan pairingan nira mulih). Keto pamunyine I Cicing Gudig, teka jeg
ngugu kone I Patih muah panjake ane len-lenan.” (Tinggen, 2003: 19)
“ mawanan kaupet kone I Cicing Gudig dadi anak Agung kene kone
kenehne, (beh keweh pesan I dewek dadi agung, sewai-wai ngencanin anak mawikara
dogen).” (Tinggen, 2003: 19)
Seperti
terbaca dalam kutipan di atas I Cicing Gudig tidak mempunyai sifat
kejujuran pada dirinya sendiri karena ia tidak pernah mengakui kepada orang
lain bahwa dirinya itu sebenarnya seekor anjing. Oleh karena itu, untuk
membohongi orang lain, ia selalu merubah wujud dirinya sendiri dan tidak pernah
bersyukur terhadap apa yang ada pada dirinya. Selain itu, ia juga tidak
bertanggung jawab dalam melaksanakan dan mengemban tugas. Jadi, sebaiknya kita
tidak meniru prilaku I Cicing Gudig karena kita akan mendapat pahala yang tidak
baik juga.
2.
Cerita
atau satua Luh Sari
Ada
sebuah keluarga yang hidup dengan bahagia, yaitu Pan Sari dan Men Sari.
Sepasang suami istri tersebut mempunyai seorang anak perempuan yang cantik. Ia
bernama Luh Sari. Luh Sari sangat disayang oleh kedua orang tuanya. Tetapi,
saat ia berumur 3 tahun ibunya meninggal. Semenjak itu, Pan Sari sulit
menjalani kehidupan. Oleh karena itu, untuk mengurus rumah tangganya, ia
kembali menikah agar ada yang mengurusi Luh Sari. Namun, setelah menikah dengan
perempuan yang dipilihnya, ibu tiri Luh Sari tidak menyayangi Luh Sari. Setiap
ayahnya tidak berada di rumah Luh Sari terus dimarahi dan dipukuli. Namun, jika ayahnya berada di rumah Luh Sari
disayangi oleh ibu tirinya. Setiap hari, ia tidak diberi makan oleh ibu tirinya
dan ia terus menangis dengan apa yang terjadi pada dirinya. Tetapi, ia juga
tida mau memberitahukan ayahnya bagaimana kelakuan ibu tirinya karena jika hal
itu dilakukan ia akan dupukul. Suatu hari, Luh Sari datang ke dapur untuk
meminta nasi karena dari tadi ia menahan lapar. Namun, ketika ia meminta nasi,
ibunya menyalahkan Luh Sari dengan marah-marah dan berbicara kasar, serta memukulnya dengan
sebilah kayu bakar. Bukannya nasi yang diberikan oleh ibunya, tapi abu dan bekas
kayu bakar yang diberikan. Kemudian, Luh Sari pun keluar dari dapur dan
menangis. Setelah di luar dapur, ia menemukan bulu-bulu ayam. Sambil menangis
ia pun menancapkan bulu-bulu ayam itu di tubuhnya sehingga ia bisa terbang ke
pohon. Di pohon itu pun, ia terus menangis. Kemudian, ketika ayahnya pulang
tangisan Luh Sari didengar. Sedih melihat keadaan anaknya seperti itu, Pan Sari
pun naik ke atas pohon dan mengajak Luh Sari untuk turun. Pan Sari tahu semua
itu perbuatan istrinya. Lalu, ia mencari
istrinya dengan membawa kayu bakar dan memukuli istrinya hingga tak bisa
berbuat apa-apa. Semenjak kejadian itu pun istrinya di usir dari rumah.
Dalam cerita tersebut terdapat unsur
intrinsik, ekstrinsik, dan nilai-nilai pendidikan karakter yang dapat
dikembangkan dalam bermasyarakat. Unsur intrinsik dalam satua ini, yaitu tema
dari satua itu adalah kehidupan social masyarakat (kehidupan keluarga).Tokoh-
tokoh dalam satua tersebut, antara lain
Luh Sari, Pan Sari, dan ibu tiri Luh Sari. Karakter Luh Sari dalam cerita tersebut baik, penurut,
dan sabar. Kutipannya adalah sebagai berikut :
“ Budi Luh Sari morahan teken bapane tusing
bani, krana ia takut pesan teken memene, jalane ia tawanga mesadu teken bapane,
tan pariwangda ia lakar maan bongkol sampat”. (Tinggen, 2003:21)
“ Mara keto memene, ngeling kone Luh Sari
mangilgilang, inget ia tekening iba lacur”. (Tinggen, 2003: 22)
Sedangkan
karakter Pan Sari adalah penyayang dan bertanggung jawab. Kutipannya adalah
sebagai berikut:
“Yen
kalahine panakne ka umane, tuara ada ngempuang, jumah budi bareng ajak ka umane
pedalem krana ia nu cenik”. (Tinggen, 2003:21)
“ mara ia matolihan menek, tingaline pianakne
sedih. Ditu sahasa ia menek ngalih pianakne ajaka tuun, lantas butbuta bulun
siape ane ada di awak panakne”. (Tinggen, 2003: 22)
Selain
itu, karakter dari Ibu tiri Luh Sari adalah jahat, kasar, dan tidak bertanggung
jawab sebagai seorang ibu. Kutipannya
adalah sebagai berikut:
“ kacrita kurenan pan sarine jani tusing pesan
kone iyeng ngelah panak kualon. Sabilang Pan Sari tusing jumah, setata kone
anake cerik maan munyi tan rahayu, tur pepes tig-tiga”. (Tinggen, 2003: 21)
“keto pamunyin memene, laut nyemak aon teken
katampalan wadahina kau, laut banga luh Sari. “nene nasi amah telahang!”
(Tinggen, 2003: 22)
selain
penokohan, alur/plot digunakan dalam satua tersebut adalah alur maju
karena menceritaka kehidupan sebuah keluarga, dalam hal ini
menceritakan kehidupan Luh Sari dari ia kecil hingga dewasa. Sedangkan, latar tempat, waktu, dan suasana dalam cerita
tersebut adalah di rumah, pagi hari, dan
suasananya menyedihkan.
Kutipannya
adalah sebagai berikut :
“ Baan tuara dadi baana naanang basange seduk,
laut ia kapaon ngidih nasi
memene”. (Tinggen, 2003: 21)
“ Sedek dina anu semengan pesan kone
bapane luas ka carik, krana ia lakar
ngjakang megae di uma”. (Tinggen, 2003: 21)
“Mara keto memene ngeling kone Luh Sari
mangilgilang, inget ia tekening iba lacur, katinggalin baan meme tur lantas ia
pesuan”. (Tinggen, 2003: 22)
“
Bulun siape ento lantas duduka teken Luh Sari , pcek-paceke sik awakne. Ditu
laut ia mekeber ka punyan bunute. Suba teked ia beduur ditu ia buin ngeling.”
(Tinggen, 2003: 22)
Selain itu, sudut pandang digunakan pengarang dalam menceritakan satua
tersebut adalah sudut pandang orang ketiga karena karena cerita dikisahkan
menggunakan orang nama orang, yaitu Luh
Sari. Gaya bahasa yang terdapat pada cerita tersebut adalah “ ganggonggang
gringsing kuning amahmu” dan “ gakgak gem, sulageh siar katemplung”. Selain
itu, amanat yang terdapat dalam cerita tersebut, antara lain sebaiknya kita
tetap sabar dalam menghadapi cobaan apapun, sebaiknya kita sebagai seorang ibu,
hendaknya tetap menyayangi anak walaupun ia bukan anak kandung kita sendiri,
dan berikanlah kasih sayangmu kepada orang lain dengan setulus hati.
Selain
unsur intrinsik, terdapat pula unsur ekstrinsiknya. Unsur ekstrinsik cerita
tersebut, yaitu struktur kehidupan sosial
karena menceritakan kehidupan sosial keluarga dalam rumah tangga. Keluarga Luh
Sari mengalami masalah. masalah tersebut berupa meninggalnya ibu Luh Sari (Men
Sari) sehingga ayahnya (Pan Sari) menikah
kembali karena tidak tega melihat
keadaan Luh Sari yang masih masih kecil dan masih membutuhkan kasih sayang
seorang ibu. Namun, ibu tirinya tidak menyayangi Luh Sari sepenuh hati,
sehingga di dalam keluarga tersebut sering terjadi konflik antara ibu tiri dan
anak tiri.
Kutipannya sebagai berikut:
“ Sasubanne Luh Sari kutus oton
ditu bapanne nglimbakang kenehne ngalih timpal, jani inganan ia mekeneh
krana suba ade ngempuang pianakne jumah, di nujune ia luas ka carik. Kacrita
kurnan Pan Sarine tusing iyeng ngelah pianak kualon. Sabilang Pan Sari
tusing jumah, setata kone anake cerik maan munyi tan rahayu tur pepes tigtiga”.
(Tinggen, 2003:21)
Selain itu,
nilai pendidikan karakter yang terdapat dalam cerita tersebut adalah Nilai
pendidikan karakter yang terdapat dalam cerita atau satua ini adalah tidak
adanya nilai karakter toleransi dan tanggung jawab. Kutipannya sebagi berikut :
“Kacrita kurenan Pan Sarine jani tusing pesan
kone iyeng ngelah pianak kualon.
Sabilang Pan Sari tusing jumah, setata kone anake cerik maan munyi
tan rahayu, tur pespes tigtiga”. (Tinggen, 2003:21)
“ (Meme bang ja icang ngidih
nasi asopan, seduk gati basang icange, uli tuni icang tonden ngamah!) mara
keto munyin anake cerik, laut memene nyemak saang kandikan sahasa jog matigtig
tur mamatbat, kene munyine (dadi iba juari pongah ngidih nasi teken kai,
apa suba sakayan ibane tampin kola, dadi tra dadi padengin nagih nidik. Eda bin
iba tuara ngudiang-ngudiang, kai katiman uli mara kepit matan kaine baan
nyagjagin bungut paon, kali jani tonden ngamah”.(Tinggen, 2003:22)
Seperti terbaca pada kutipan di atas, isi
cerita tersebut menceritakan seorang ibu tiri yang tidak bertanggung jawab
terhadap anak tirinya. Selain itu, ibu tiri tersebut tidak pernah menghargai
keberadaan anak tirinya, sehingga setiap hari anaknya dipukul dan dimarahinya.
Ia hanya mementingkan dirinya sendiri. Oleh karena itu, kita tidak sepantasnya
meniru prilaku ibu itu. Bagaimanapun dan siapapun kita dan orang lain itu, kita
harus tetap menghargai dan bertanggung jawab terhadap anugerah apa yang telah
diberikan kepada kita.
3.
Cerita
atau satua I Buta teken I Rumpuh ( Si Buta dan Si Lumpuh)
Di
sebuah desa hiduplah dua orang bersaudara yang miskin. kakaknya buta dan
adiknya lumpuh. Mereka tidak bisa berbuat apa, mereka tidak bisa bekerja, dan
mereka sering tidak makan. Suatu hari karena mereka tidak bisa menahan
laparnya, Si Lumpuh mempunyai ide. Ia ingin pergi ke rumah-rumah penduduk untuk
meminta-minta agar dapat makan. Namun, untuk melakukan hal itu Si Buta pesimis
karena ia sadar, ia tidak bisa melihat dan adiknyapun tidak bisa berjalan.
Tetapi, si Lumpuh tetap optimis karena ia merasa dibalik kekurangannya itu ia
mempunyai kelebihan dan bisa saling melengkapi dengan saudaranya. Ia pun meminta kakaknya untuk menggendongnya,
karena ia yang akan menunjukkan jalan. Si Buta pun menyanggupinya, ia
menggendong adiknya dari satu rumaah-ke rumah yang lain untuk meminta-minta
agar bisa makan. Melihat hal itu, semua orang merasa kasihan dan prihatin
kepada mereka. Ada yang memberikan mereka uang, nasi, buah-buahan, dan pakaian
bekas. Kemudian, di desa tempat mereka meminta-minta, ada saudagar kacang yang
melihat prilaku mereka seperti itu. Saudagar itu pun merasa kasihan pada mereka
sehingga mereka pun diangkat menjadi anaknya karena saudagar itu tidak
mempunyai anak. Di tempat itulah Si Buta dan Si Lumpuh hidup bahagia dan mereka
selalu membantu saudagar itu untuk mengupas-ngupas kacang yang akan dijualnya.
Di dalam cerita itu terdapat
unsur intrinsik, unsur ekstrinsik, dan nilai-nilai pendidikan karakter.
Struktur unsur intrinsic yang terdapat dalam cerita tersebut antara lain, Tema yang terdapat dalam cerita itu adalah
mengenai kehidupan sosial masyarakat (
bekerja keras dan berusaha dalam
menjalani kehidupan). Tokoh yang ada dalam cerita itu adalah I Buta, I Rumpuh,
dan Saudagar kacang. Karakter I Buta,
yaitu pekerja keras dan suka membantu.
Kutipannya adalah sebagai berikut:
“ Lantas ideh-ideh I Rumpuh gandonga ka
umah-umah anake ngidih-ngidih kanti payu madaar.” (Tinggen, 2003:1)
Sedangkan,
karakter I Rumpuh adalah pekerja keras,optimis dan suka membantu. Kutipannya
adalah sebagai berikut :
“ Beli tusing ningalin apan-apan, nanging
kereng mejalan. Batis icange Rumpuh, nanging matan icange cedang . yen beneh
munyin icange gandong icang, icang metujuin beli ambah-ambahan”. (Tinggen,
2003:1)
Selain
itu, karakter Saudagar kacang adalah baik dan darmawan.
Kutipannya
adalah sebagai berikut :
“
Mara ia ningalin kaanan I Buta ajaka I Rumpuh buka ento, lantas metu kenehne kapiolasan
lakar nuduk I Buta ajak I Rumpuh anggona
pianak”. (Tinggen, 2003:1)
Latar yang terdapat dalam cerita
tersebut adalah latar tempat, waktu, dan suasana. Latar tersebut antara lain,
di jalan (ka umah-umah anak) dan di rumah Saudagar kacang.
Kutipannya
sebagai berikut:
“
Lantas ideh-ideh I Rumpuh gandonga kaumah-umah anake ngidih- ngidih”.
(Tinggen, 2003:1)
“
I Buta ajaka I Rumpuh kendel pesan ajaka ditu , tur ia anteng pesan
nulungin melut-melut kacang tanah”. (Tinggen, 2003:1)
Latar suasana dalam cerita itu
adalah menyedihkan.
Kutipannya
sebagai berikut :
“
Lantas ideh-ideh I Rumpuh gandonga ka umah-umah anake ngidih-ngidih, kanti
payu ia madaar. Mekejang anake kapiolasan, kangen ningalin unduke I Buta
teken I Rumpuh. Ada maang pipis ada
maang nasi, ada maang woh-wohan, ada masih anake maang lungsuhan penganggo”.
(Tinggen, 2003:1)
Sudut pandang yang digunakan dalam
satua tersebut adalah orang ketiga karena cerita dikisahkan menggunakan kata
ganti orang ketiga, seperti mereka, dia, nama orang, yaitu I Buta dan I Rumpuh
dan amanat yang terdapat dalam cerita itu adalah Kita harus tetap berusaha dan
bekerja keras dalam menjalani kehidupan dan kita sebagai sesama makhluk hidup,
hendaknya saling menolong dengan sesama.
Sedangkan
unsur ekstrinsik yang terdapat dalam cerita ini, yaitu status sosial ekonomi karena
menceritakan kedua saudara yang miskin dan cacat fisik sehingga ia tidak bisa
bekerja untuk memenuhi kebutuhannya,
seperti makan sehari-hari. Oleh karena itu, kedua saudara tersebut bekerja
keras dan berusaha dengan saling membantu untuk meminta-minta ke rumah-rumah
orang agar bisa makan.
Kutipannya
adalah sebagai berikut:
“ Di desa anu ada anak tiwas panyamaan ajaka
dadua. Ane kelihan buta, ane cerikan rumpuh. Krana ia tuara nyidayang nyemak
gawe, jele kenken awai ia tuara madaar”. (Tinggen, 2003:1)
Sedangkan, nilai
pendidikan karakter yang terdapat dalam cerita tersebut adalah nilai pendidikan
karakter kerja keras.
Kutipannya
adalah sebagai berikut:
“Papineh
adine kebenehang pesan teken I Buta, lantas ideh-ideh I Rumpuh gandonga ka
umah-umah anake ngidih-ngidih, kanti payu ia madaar” (Tinggen, 2003:1)
“
Mara ia ningalin kaanan I Buta teken I Rumpuh buka ento, lantas metu kenehne
kapiolasan lakar nuduk I Buta lan I Rumpuh anggona pianak” (Tinggen, 2003:1)
Walupun keduanya (Buta dan Rumpuh) cacat fisik
tetapi, mereka penuh usaha dan kerja keras agar bisa makan untuk memenuhi
kebutuhan hidupnya. Selain itu, mereka demokratis
artinya cara berfikir, bersikap, dan
bertindak yang menilai sama hak dan kewajiban bersaudara, bahwa mereka
sama-sama mempunyai hak dan kewajiban untuk bekerja keras mencari makan. Nilai
pendidikan karakter lainnya, yaitu mereka bersahabat/komunikatif
karena mereka dalam bertindak saling membantu dengan sesam saudaranya. Selain
itu ada pula saudagar kacang yang mempunyai sifat peduli sosial terhadap sesama karena ia telah membantu I Buta
dan I Rumpuh. Jadi, kita harus meniru sifat dan prilaku I Buta dan I Rumpu yang
berkerjakeras, demokratis, dan bersahabat itu hingga mereka bisa makan dan
mendapat bantuan. Selain itu, kita juga patut meniru sifat saudagar kacang yang
peduli sosial karena ia telah menolong dan mengangkat anak yang membutuhkan
bantuannya.
4.Cerita atau satua Taluh Mas (Telur Emas)
Di
sebuah desa yaitu di Banjar Ayu, ada dua orang perempuan yang tidak
berkeluarga. Mereka tinggal dalam lingkungan tempat tinggal sama. Perempuan
yang pertama, sifatnya jahat. Ia tidak pernah membantu orang lain walaupun
orang itu miskin dan selalu iri hati. Namun perempuan yang kedua, sifatnya baik
ia suka menolong dan membantu orang lain, terutama orang miskin. Suatu hari ada
seekor burung merpati yang jatuh karena dadanya terluka, sehingga ia tidak bisa
terbang. Oleh karena itu, merpati itu jatuh
di halaman rumah orang yang bersifat jahat itu. Namun ketika orang itu
melihat ada seekor merpati yang jatuh di halaman rumahnya, ia pun mengusir
burung merpati tersebut karena curiga akan merusak tanaman rumahnya. Kemudian,
burung tersebut pun berusaha untuk terbang. Namun, ia tidak bisa terbang jauh.
Akhirnya, merpati itupun jatuh di halaman rumah seorang perempuan yang baik.
Melihat burung merpati yang jatuh di halaman rumahnya, perempuan baik itu pun
mengambil merpati itu dan mengobatinya serta merawatnya dengan baik. Setelah
luka burung itu sudah sembuh, dilepaslah burung merpati itu. Pada malam hari,
burung merpati itu datang kembali ke rumah perempuan baik yang telah
menolongnya. Lalu ia masuk ke sangkarnya yang tadi dan ia pun bertelur emas.
Setiap hari, burung merpati itu bertelur emas sehingga perempuan baik itu
sangat senang karena diberikan telur emas oleh burung itu. Lambat laun ia pun
menjadi orang kaya hingga orang terkaya di desanya. Oleh karena itu, perempuan
yang meniliki sifat jahat iri hati kepadanya. Ia pun berusaha mencuru burung
merpati itu dan membawa pulang ke rumahnya. Tetapi, burung merpati itu tidak
mau bertelur seperti biasanya. Akhirnya karena menunggu lama, perempuan jahat
itu marah kepada burung itu dan ingin membunuhnya. Setelah, ia melihat kembali
sangkar burung itu, tiba-tiba burung itu berubah menjadi seekor ular yang besar
berkepala 20. Ia pun kaget dan berteriak-teriak meminta tolong sehinnga banyak
tetangganya yang keluar dengan membawa senjata tajam untuk membunuh ular
tersebut. Namun, setelah orang-orang sampai di rumah perempuan jahat itu. Ular
itu berubah menjadi burung merpati seperti semula dan terbang jauh kembali ke
hutan. Semua orang-orang di sekitar sana heran melihat kesaktian burung merpati
itu dan semua masyarakat di sana menyalahkan
perempuan jahat itu.
Dalam
cerita tersebut terdapat unsur intrinsik, unsur ekstrinsik, dan nilai-nilai
pendidikan karakter. Unsur intrinsik yang terdapat dalam cerita itu antara lain Tema dalam cerita tersebut adalah kehidupan
sosial, yaitu saling membantu terhadap sesama makhluk hidup dengan tulus
ikhlas. Tokoh-tokoh yang terdapat dalam cerita tersebut adalah perempuan 1, perempuan
2, dan burung merpati. Karakter perempuan adalah baik dan suka membantu baik
sesama, maupun makhluk hidup lain. Kutipannya adalah sebagai berikut :
“Melah
pesan bikasne tur dana, ia demen nulungin anak tiwas” (Tinggen, 2003:4)
“
Mara tawanga ada dara ulung di pakaranganne, lantas ia nuduk darane ento, laut
ubuhina melah-melah. Sasubane was tatune, lantas elebine” (Tinggen, 2003:4)
Sedangkan,
karakter perempuan 2 adalah jahat, iri hati dan tidak suka membantu orang atau
makhluk lain.
Kutipannya
adalah sebagai berikut :
“ Daane ane adiri jele pesan solahne, tusing
demen nulungin anak tiwas, yadin ya nyidayang nulnungin, muah iri ati”
(Tinggen, 2003:4)
“ Mara daane ento nawang ada dara ulung
dipakaranganne, lantas ia gedeg pesan sambilanga ngulah darane ento, kadene lakar
ngusakang pamula-mulaane” (Tinggen, 2003:4)
Selain
itu, karakter Burung Merpati adalah baik dan
mau membantu orang yang membutuhkan bantuannya.
Kutipannya adalah sebagai berikut :
“Sawatara
peteng dina, darane ento buin melipetan ka umah daane dana, nglantas mecelep ka guungane I pidan, laut metaluh
mas. Keto sadina-dina darane ento malipetan kema, masih ia mataluh”(Tinggen,
2003:4)
Latar yang terdapat dalam cerita itu adalah
latar tempat, waktu, dan latar suasana. Latar tempatnya adalah rumah perempuan
1 dan 2.
Kutipannya
adalah sebagai berikut:
“ Sawatara peteng dina, darane ento buin
melipetan ka umah daane dana,
nglantas mecelep ka guungane I pidan, laut metaluh mas” (Tinggen,2003:4)
“ Celepange ka guungane gelahne, pejanga
jumah meten, apanga ia metaluh mas”.
Sedangkan,
latar waktunya adalah malam hari.
Kutipannya
adalah sebagai berikut:
“ Sawatara peteng dina, darane ento
buin melipetan ka umah daane dana, nglantas mecelep ka guungane I pidan,
laut metaluh mas” (Tinggen,2003:4)
Serta,
latar suasana dalam cerita itu adalah menegangkan dan menyedihkan. Kutipannya
adalah sebagai berikut:
“
Mara ni daa corah ngungkabang jlanan guungane, nget darane ento mesiluman dadi lelipi gede tur mandi,
matendas duang dasa”. (Tinggen,2003:4)
“ Laut mekeber darane totonan sakereng-kerengne, nanging sing
ada bisa nglantas, ulung di
pakarangan trunine dana” (Tinggen,2003:4)
Selain itu, sudut pandang yang digunakan dalam satua tersebut adalah
sudut pandang orang ketiga karena cerita dikisahkan menggunakan kata ganti
orang ketiga, seperti mereka, dia, nama orang yaitu perempuan 1 dan 2.
Alur/plot yang digunakan dalam cerita itu adalah alur maju karena diceritakan
secara bertahap yaitu dari pengenalan tokoh, hingga terdapat konflik yaitu
datangnya burung merpati, hingga perempuan jahat mendapatkan karma karena
perbuatan jahatnya. Serta, amanat yang terdapat dalam cerita tersebut antara
lain, Sebagai sesama makhluk hidup hendaknya kita saling membantu dan dalam
membantu sesama ciptaan Tuhan kita
lakukan dengan setulus ikhlas.
Unsur ekstrinsik dalam cerita ini
yaitu mengenai kehidupan sosial karena
karena menceritakan kehidupan dua orang perempuan yang masing-masing
belum berumah tangga yang tinggal di satu areal perkampungan. Perempuan yang
pertama sifatnya jahat, iri hati, dan tidak suka membantu orang lain.
Sedangkan, Perempuan yang kedua sifatnya
baik dan ia suka membantu sesama dan makhluk hidup lain
sehingga ia mendapatkan pahala yang baik pula.
Kutipannya adalah sebagai berikut:
“ Ada kone anak daa tua di Banjar Ayu, maumah mapunduh dadi
apisaga. Daane ane adiri jele pesan solahne, tusing demen nukungin anak tiwas,
yadin ya nulungin muah iri ati. Nanging daana lenan melah pesan bikasne tur
dana, demen ia nulungin anak tiwas”.
Nilai
pendidikan karakter yang terdapat dalam cerita ini, yaitu nilai karakter peduli
sosial yang dimiliki perempuan baik dan nilai karakter tidak menghargai
prestasi orang lain.
Kutipannya adalah sebagai
berikut :
“Ada kone anak daa tua di Banjar Ayu,
maumah mapunduh dadi apisaga. Daane ane adiri jele pesan solahne, tusing
demen nulungin anak tiwas, yadin ya nulungin muah iri ati. Nanging daana lenan
melah pesan bikasne tur dana, demen ia nulungin anak tiwas”.
“ Mara tawanga ada dara ulung di pakaranganne,
lantas ia nuduk darane ento, laut
ubuhina melah-melah. Sasubane was tatune, lantas elebine”.
Nilai
karakter yang dimiliki perempuan yang
baik adalah nilai peduli sosial karena Ia mempunyai prilaku ini baik terhadap sesama
maupun makhluk hidup lain. Terbukti ia telah membantu seekor burung yang sedang
terluka. Selain itu, ada perempuan yang jahat ia tidak mempunyai nilai karakter
menghargai prestasi karena ia selalu iri hati kepada orang lain yang selalu
mendapatkan lebih daripada dirinya. Oleh karena itu, kita tidak sepantasnya
berbuat seperti itu karena jika kita berbuat tidak baik, hasilnya pun akan
tidak baik. Tetapi, kita patut meniru sifat atau prilaku sosial yang dilakukan
oleh perempuan baik karena dengan kepeduliannya itu, ia mendapatkan imbalan
baik dari burung itu berupa telur emas. Jadi, sebagai sesama ciptaan Tuhan kita
harus saling membantu karena di dunia ini kita tidak hidup sendiri.
5.Cerita atau Satua I Belog (Si Bodoh)
Ada sebuah cerita Si Belog, ia hanya
bermain dan makan. Suatu hari, Si Belog bermain ke sebuah desa yang tak ia
kenal. Dalam perjalanan pulang ke rumah, ia melewati kuburan dan melihat mayat
seorang wanita yang cantik. Si Belog pun terkaagum-kagum melihat mayat wanita
itu, sehingga ia berpikir untuk membawanya pulang dan menjadikannya seorang
istri. Ia pun menggendong mayat itu dan membawanya pulang. Setelah sampai di
rumah, ia pun memasukkan mayat itu ke dalam kamarnya. Ia pun bercerita kepada
ibunya bahwa ia sudah mempunyai seorang pacar cantik yang akan di peristrinya.
Ibunya Si Belog pun bahagia karena Belog akan mempunyai istri. Kemudian, Si
Belog pun mengambil nasi untuk diberikan kepada istrinya itu. Nasi itu pun ia
letakan di samping mayat perempuan itu dan ia tinggalkan keluar karena dianggap
istrinya malu makan nasi itu ada Si Belog. Namun, nasi dan lauk- lauk itu di
makan oleh kucing sehingga makanan itu pun habis. Lalu setelah itu, Si Belog
pun langsung masuk ke kamarnya kembali dan ia melihat makanan itu sudah habis.
Ia pun sangat senang karena ia merasa istrinya itu yang makan nasi yang
diberikannya. Oleh karena itu, hal itu pun terus Si Belog lakukan tanpa ia tahu bahwa yang makan nasi
itu adalah kucingnya. Ibunya pun merasa aneh mengapa menantunya itu tidak
pernah keluar kamar. Kemudian ibunya pun menengok ke kamar. Ternyata yang ada
di kamar itu adalah mayat. Ibunya mengatakan bahwa mayat itu adalah berbau
busuk sehingga harus dijatuhkan ke dalam sumur. Si Belog pun menjatuhkan mayat
itu ke dalam sumur. Suatu hari, karena ibunya belum mandi sehingga baunya tidak
sedap. Oleh karena itu, Si Belog berpikir bahwa ibunya telah meninggal karena
bau tubuhnya tidak enak. Ibunya pun di seret dan di jatuhkan ke dalam sumur,
walaupun ibunya sudah teriak-teriak tapi Si Belog tidak menghiraukannya. Sejak
itu pun Si Belog hidup sebatang kara dan tidaka ada yang mengajaknya bicara.
Suatu hari Si Belog buang angin dan baunya pun tidak sedap. Oleh karena itu, ia
juga menganggap bahwa dirinya telah meninggal sehingga ia pun menjatuhkan diri
ke dalam sumur dan meninggal.
Dalam cerita atau satua I Belog terdapat
pula unsur intrinsik, unsur ekstrinsik, dan nilai-nilai pendidikan karakter.
Unsur intrinsik dalam satua tersebut, yaitu tema yang terdapat dalam cerita itu adalah kehidupan
sosial masyarakat yaitu, kehidupan seorang manusia yang mempunyai tingkat
pendidikan rendah dan kurangnya sosialisasi dengan masyarakat sehingga ia tidak
tahu apa-apa (bodoh). Tokoh pada cerita itu adalah I Belog dan meme I Belog.
Karakter I Belog dalam isi cerita itu adalah bodoh, malas, dan ceroboh, sehingga dalam
mengambil keputusan tidak dipikirkan matang-matang.
Kutipannya
adalah sebagai berikut:
“
Ada orah-orahan satua I Belog, geginane melali dan madaar dogen”. (
Tinggen, 2003:10)
“ mara ia neked di tengah semane nget nepukin
ia bangken anak luh kaliwat jegeg pesan. I Belog lantas ngomong, ( luh-luh,
nyak makurenan teken tiang?). anake ento mendep dogen. Sambilanga
ngrengkeng keto , lantas bangkene ento abane mulih celepange ka jumah
meten.” ( Tinggen, 2003:10)
“
Sambilanga ngomong keto, lantas memene kejuk tur kapaid kaba ka sembere.”
“Nujuang
pesan I belog ngentut, tur bonne bengu. I Belog lantas mekeneh (beh I dewek
mati jani, tonden med idup suba mati). Sambilanga ngomong keto, lantas ia
melaib ka semere, lantas pulanga ibanne. Payu I Belog mati”. ( Tinggen,
2003:12)
Sedangkan,
karakter Meme I Belog, yaitu mudah percaya dengan apa yang disampaikan oleh
anaknya dan kurang perhatian terhadap anaknya, misalnya dalam hal memberikan bimbingan.
Kutipannya
adalah sebagai berikut:
“
Memene buin ngomong, ( men ija ia ento?). I Belog buin ngomong (ento apa ia
jumah meten, nyen da delokina malu, krana ia lek)”. ( Tinggen, 2003:10)
Selain
hal itu, ada pula latar dalam isi cerita tersebut. Latar yang terdapat adalah
latar tempat dan suasana dalam cerita.
Latar tempat dalam cerita itu adalah di kuburan dan rumah I Belog.
Kutipannya adalah sebagai berikut :
“Sedek
dina anu I Belog malali-lali ka desa len. Di mulihne ia ngentasin sema linggah
pesan”.
“
Sambilange ngrengkeng keto, lantas
bangkene ento abana ka umahne, tur celepanga ka jumahan meten. I Belog lantas
morahan teken memene”.
Sedangkan,
latar suasana adalah menyedihkan karena
I Belog dan ibunya meninggal karena hal yang tidak wajar dan karena
kecerobohan.
Kutipannya
adalah sebagai berikut:
“ Sambilanga ngomong keto, lantas memene
kejuk, tur kapaid kaba ke sembere. Jet ja memene jerit-jerit, masih tusing
linguanga lantas kacemplungang ka sembere”.
“ Jani I Belog nongos jumahne padidiana,
tusing ada anak ngajak ngomong”.
“
Sambilanga ngomong keto lantas ia melaib ka semere, lantas pulanga ibane. Payu I
Belog mati”.
Sudut pandang: sudut pandang yang
digunakan dalam satua tersebut adalah sudut pandang orang kedua karena cerita
dikisahkan menggunakan nama orang, yaitu I Belog dan I Meme. Gaya bahasa yang
terdapat dalam cerita I Belog, yaitu “ baan layah basangne lantas ia ka
peken meli ubi, kasela, gatep,muah ane len-lenan, ane sarwa mudah-mudah.”
Sedangkan, alur/ plot digunakan pengarang dalam satua I Belog adalah alur maju
karena menceritakan suatu kejadian yang di awali dengan I Belog yang pergi
jalan-jalan ke desa lain dan membawa mayat wanita hingga terjadi masalah dan
sampai ia membunuh ibu serta dirinya sendiri. Selain itu, amanat yang
disampaikan dari tangan kreatif pengarang cerita ini, yaitu jangan gegabah
dalam mengambil keputusan yang belum kita ketahui atau pahami benar, sebagai
makhluk yang mempunyai akal pikiran, manfaatkanlah hal tersebut sebaik-baiknya
sesuai dengan logika/nalar, janganlah ceroboh dalam melakukan sesuatu karena hasilnya
akan menjadi tidak baik, dan sebagai
orang tua hendaknya kita mampu membimbing anak kita ke depan agar ia mempunyai
bekal atau pengalaman hidup dalam menjalani kehidupan sehari, baik di
dalam keluarga, maupun di dalam
masyarakat.
Kemudian, Unsur ekstrinsik yang
terdapat dalam cerita ini adalah tingkat pendidikan karena di dalam cerita ini
menceritakan manusia yang tidak berintelektual dalam berpikir, bertindak, dan
berbuat, yaitu yang bernama Si Belog yang mempunyai tingkat pendidikan rendah.
Kutipannya adalah sebagai berikut:
“ Mara ia neked di tengah semane nget nepukin
ia bangken anak luh kaliwat jegeg pesan. I Belog lantas ngomong, ( luh-luh,
nyak makurenan teken tiang?). anake ento mendep dogen. Sambilanga
ngrengkeng keto , lantas bangkene ento abane mulih celepange ka jumah meten”
(Tinggen, 2003:10)
“Nujuang pesan I belog ngentut, tur bonne
bengu. I Belog lantas mekeneh (beh I dewek mati jani, tonden med idup suba
mati). Sambilanga ngomong keto, lantas ia melaib ka semere, lantas
pulanga ibanne. Payu I Belog mati” (Tinggen, 2003:12)
Dalam kehidupan sehari-hari Si belog
sering melakukan hal-hal yang tidak logis dalam kehidupan sehari-harinya. Itu
karena ia tidak bersekolah atau tidak berpendidikan. Seperti, salah menafsirkan
pembicaraan ibunya dan mayat yang tidak dikenalnya ditemukan di kuburan dan dibawa
pulang serta dijadikan istrinya.
Selain unsur intrinsik dan ekstrinsik yang terdapat
pada cerita itu. Di dalam cerita tersebut mengandung pula nilai-nilai
pendidikan karakter, diantaranya nilai karakter rasa ingin tahu dan gemar
membaca. Namun, tokoh I Belog dalam cerita ini tidak mempunyai nilai karakter
tersebut sehingga ia tidak tahu apa-apa atau bodoh dalam kehidupan sehari-hari.
Rasa keingintahuan yang ia miliki tidak ia gunakan secara wajar sehingga, tidak sesuai dengan logika serta kebutuhannya.
Jadi, hal-hal kecil dalam kehidupan sehari-hari pun tidak ia ketahui. Oleh
karena itu, hendaknya tokoh I Belog tersebut harus rajin atau gemar membaca
agar tahu bagaimana kehidupan di luar agar mempunyai wawasan dan pengalaman
hidup serta, kita juga dapat belajar dari lingkungan sekitar mengenai kehidupan
saat ini.
“
Mara ia neked di tengah semane nget nepukin ia bangken anak luh kaliwat jegeg
pesan. I Belog lantas ngomong, ( luh-luh, nyak makurenan teken tiang?).
anake ento mendep dogen. Sambilanga ngrengkeng keto , lantas bangkene ento
abane mulih celepange ka jumah meten” (Tinggen, 2003:10)
“
Lantas ia pesu ngalih I Belog (ih Belog
nguda cai ngejang anak suba mati jumahan meten?) I Belog masaut (nguda meme
orahang mati kurenan icange ?) I Belog lantas ajaka ka umahan meten teken
memene. I Belog lantas ngomong, (meme yan anake mati, bengu bonne)” (Tinggen,
2003:11).
Simpulan dan Saran
Setelah melakukan analisis terhadap
5 satua karya I Nengah Tinggen dapat disimpulkan bahwa dalam satua-satua I
Nengah Tinggen terdapat unsur intrinsik dan unsur ekstrinsik. Unsur instriknya,
yaitu tema, tokoh, penokohan, alur, sudut pandang, gaya bahasa, latar, dan
amanat. Sedangkan, unsur ekstrinsik yang terdapat pada kelima satua itu adalah
struktur kehidupan sosial, tingkat pendidikan, keyakinan/agama,
kepercayaan/pandangan hidup, dan status sosial ekonomi. Selain itu, terdapat
pula nilai-nilai pendidikan karakter yang disampaikan dalam cerita tersebut.
Tidak hanya nilai pendidikan karakter baik saja yang ada pada cerita itu. Namun , ada pula nilai pendidikan
karakter tidak baik yang tidak sepantasnya kita tiru karena jika kita berbuat
baik maka hasilnya pun akan baik pula, begitupun sebaliknya jika kita berbuat
jahat/ tidak baik maka hasilnya pun tidak baik. Oleh karena itu, banyak hal
yang disampaikan penulis dalam kumpulan satua-satuanya, seperti pesan yang
tersirat dan tersurat yang disampaikan dalam cerita tersebut. Nilai-nilai
pendidikan karakter yang terdapat pada kelima cerita itu, yaitu jujur,
tanggung jawab, kerja keras, peduli
sosial, bersahabat, demokratis, gemar
membaca, rasa ingin tahu dan kesabaran sehingga, dengan nilai-nilai
pendidikan karakter yang terdapat dalam cerita rakyat tersebut dapat membangun
karakter generasi muda ke arah yang lebih baik.
Cerita rakyat yang berupa
cerita daerah merupakan salah satu jenis sastra yang dapat digunakan sebagai
cara dalam pembentukan karakter. Mengingat akan hal itu, kita berharap sastra
dan apresiasi sastra, baik di sekolah maupun di masyarakat dapat berperan
penting dalam pembentukan karakter bangsa. Pembahasan dan analisis mengenai
sebuah karya sastra sangat penting untuk terus dilakukan agar nilai-nilai atau
pesan yang terkandung dalam setiap karya sastra dapat disosialisasikan I kepada
generasi berikutnya.
DAFTAR
PUSTAKA
Herfanda, A.Y. 2008. ”Sastra sebagai
Agen Perubahan Budaya” dalam Bahasa dan Budaya dalam Berbagai Perspektif, Aanwar Effendi, ed. Yogyakarta:
FBS UNY dan Tiara
Boyer,E.L. 1995. Character
in the Basic School, Making a Commitment to Character.
Koesoema A, Doni. 2007. Pendidikan
Karakter, Strategi Mendidik Anak di Zaman Global. Jakarta: PT. Gramedia Widiasarana
Indonesia (Grasindo)
Megawangi, Ratna. 2004. Pendidikan Karakter,
Solusi Tepat untuk Membangun Bangsa. BP Migas: Star Energy.
Sulhan, Najib. 2010. Pendidikan
Berbasis Karakter. Surabaya: Jaring Pena.
Daftar
laman
http://CIPTA
DEWI.blogspot.com/p/SASTRA PENDIDIKAN-KARAKTER.html
https://www.google.com/#output=search&sclient=psy-ab&q=artikel+mengenai+pentingnya+sastra+dalam+membangun+pendidikan+karakter&oq=artikel+mengenai+pentingnya+sastra+dalam+membangun+pendidikan+karakter&gs
Tidak ada komentar:
Posting Komentar