Sabtu, 21 Desember 2013

WACANA KLASIFIKASI



 Klasifikasi Jenis Olahraga Permainan, Pertandingan, dan Olahraga Perlombaan

Olahraga merupakan aktivitas atau gerakan untuk melatih tubuh seseorang baik secara jasmani maupun rohani yang dapat memberikan efek pada tubuh secara keseluruhan. Olahraga membantu merangsang otot-otot dan bagian tubuh lainnya untuk bergerak. Olahraga dapat digolongkan menjadi 3 jenis yaitu jenis olahraga perlombaan, pertandingan, dan jenis olahraga permainan.
Di samping itu ada pula jenis olahraga permainan. Olahraga permainan adalah olahraga tradisional yang memengaruhi budaya setempat. Olahraga permainan yang ada di Indonesia dan berpengaruh terhadap hal- hal lain yang ada di budaya Indonesia antara lain sepak takraw, kasti, pencak silat, dan permainan benteng. Sepak Takraw adalah Olahraga yang dimainkan dengan cara seperti bermain sepakbola dan bola voli, tetapi dilakukan di lapangan bulu tangkis. Jumlah pemain dalam sebuah permainan adalah tiga orang untuk masing-masing regu. Pemain sepak takraw tidak boleh menyentuh bola dengan tangan, dan hanya boleh menggunakan kaki mereka sehingga sekilas gerakan-gerakan dalam permainan sepak takraw mirip dengan gerakan seni bela diri. 

Kemudian, olahraga Pencak silat adalah suatu metode beladiri yang diciptakan oleh bangsa Indonesia guna mempertahankan diri dari bahaya. Bahaya yang mengancam keselamatan dan kelangsungan hidupnya. Olahraga Permainan  Pencak silat menitikberatkan pada teknik penguncian, berjalan atau mengayun, menjatuhkan pukulan dan tendangan dari sudut dan arah yang tidak terduga-duga. Teknik-teknik tersebut di tujukan pada titik-titik lemah, Sedangkan dalam permainan senjata, silat juga memegang peranan penting dalam pertarungan dan latihan. Senjata-senjata yang sering digunakan misalnya golok, tombak, tongkat, sarung dan lain-lain. Selain itu, Kasti merupakan sejenis olahraga Permainan bola yang dilakukan 2 kelompok dengan menggunakan bola tenis sebagai alat untuk menembak lawan dan tumpukan batu untuk disusun. Siapapun yang berhasil menumpuk batu tersebut dengan cepat tanpa terkena pukulan bola adalah kelompok yang memenangkan permainan. Pada awal permainan, ditentukan dahulu kelompok mana yang akan menjadi penjaga awal dan kelompok yang dikejar. Kelompok yang menjadi penjaga harus segera menangkap bola secepatnya setelah tumpukan batu rubuh oleh kelompok yang dikejar. Apabila bola berhasil menyentuh lawan, maka kelompok yang anggotanya tersentuh bola menjadi penjaga tumpukan batu. Dalam permainan ini, Kerjasama antaranggota kelompok sangat dibutuhkan. Selanjutnya, Permainan Benteng Adalah permainan yang dimainkan oleh dua grup, masing-masing terdiri dari 4 sampai dengan 8 orang. Masing-masing grup memilih suatu tempat sebagai markas, biasanya sebuah tiang, batu atau pilar sebagai ‘benteng’. Tujuan utama permainan ini adalah untuk menyerang dan mengambil alih ‘benteng’ lawan dengan menyentuh tiang atau pilar yang telah dipilih oleh lawan dan meneriakkan kata benteng. Kemenangan juga bisa diraih dengan ‘menawan’ seluruh anggota lawan dengan menyentuh tubuh mereka. Permainan ini sangat membutuhkan kecepatan berlari dan juga kemampuan strategi yang handal.
Olahraga perlombaan adalah kegiatan mengadu ketangkasan atau keterampilan. Olahraga sering dijadikan ajang perlombaan dari dulu hingga sekarang. Beberapa jenis olahraga yang dapat di kategorikan ke dalam olahraga perlombaan yaitu olahraga lari, dan olahraga air. Lomba lari merupakan olahraga yang menitikberatkan pada kecepatan atlet untuk mencapai garis finish. Atlet melakukan gerak lari dengan kecepatan maksimal untuk mencapai garis finish dengan keahlian dan pengaturan strategi. Dari kecepatan saat di start, kecepatan memasuki garis finish dan kecepatan saat berlari sprint yang baik sangat menentukan keberhasilan mencapai garis finish dengan cepat. Perlombaan lari bisa dibagi menjadi 4 macam yaitu lari jarak pendek, lari jarak menengah, lari jarak panjang, dan lari estafet. Untuk lari jarak pendek jarak yang ditempuh adalah 100m sampai 400m, jarak menengah antara 800m sampai 1500m, lari jarak panjang atlet harus berlari antara jarak 3000 m sampai 4000m, sedangkan lari estafet yang sering diperlombakan adalah nomor 4 x 100 meter dan nomor 4 x 400 meter. Kemudian, Jenis olahraga air terdiri dari menyelam dan renang. Menyelam ini merupakan olahraga yang memadukan keindahan dan keberanian seseorang. Lain halnya dengan menyelam, renang juga disebut dengan olahraga air. Dalam perlombaan renang, atlet harus bisa berenang dengan cepat agar mencapai garis finish. Kecepatan perenang dan gaya berenangnya sangat menentukan keberhasilanya. Gaya dalam renang yang biasanya dilakukan adalah gaya bebas, gaaya punggung, gaya dada, dan gaya kupu-kupu. Dalam lomba renang sangat ditentukan oleh stamina atlet, kelenturan tubuh dan keanggunannya serta cara mereka dalam mengatur pernapasan sampai garis finish. Olahraga lompat jauh adalah upaya mencapai jarak paling jauh dengan satu kali tolakan. Tujuan dalam lompat jauh adalah memindahkan tubuh dari satu tititk ke titik lainnya dengan sekali lompatan yang dimulai dengan awalan berlari kemudian menolak, selanjutnya melayang dan terakhir mendarat pada titik paling jauh. Cabang lompat jauh ini dibagi lagi ke dalam 3 kategori yakni lompat jauh gaya jongkok atau Tuck, lompat jauh gaya menggantung atau Hang Style, serta gaya berjalan di udara atau Walking In The Air. Ketiga gaya tersebut dibagi berdasarkan sikap badan seorang atlit saat ia sedang dalam keadaan melayang. Sementara itu, gerakan awalan, tumpuan serta pendaratan tidak memiliki perbedaan antara gaya yang satu dan gaya lainnya.
kemudian, olahraga pertandingan digunakan untuk jenis olah­raga yang menghadapkan dua pihak. jenis olahraga  yang dapat diklasifikasikan ke dalam olahraga pertandingan yaitu tinju, sepak bola, dan bulu tangkis. Tinju adalah olahraga dan seni bela diri yang menampilkan dua orang partisipan dengan berat yang serupa. Mereka  bertanding satu sama lain dengan menggunakan tinju mereka dalam rangkaian pertandingan berinterval satu atau tiga menit yang disebut "ronde". Baik dalam Olimpiade ataupun olahraga profesional, kedua petinju menghindari pukulan lawan mereka sambil berupaya mendaratkan pukulan mereka sendiri ke lawannya. Selanjutnya, Bulu tangkis adalah suatu olahraga raket yang dimainkan oleh dua orang (untuk tunggal) atau dua pasangan (untuk ganda) yang saling berlawanan. bulu tangkis bertujuan memukul bola permainan ("kok" atau "shuttlecock") melewati jaring agar jatuh di bidang permainan lawan yang sudah ditentukan dan berusaha mencegah lawan melakukan hal yang sama. Ada lima partai yang biasa dimainkan dalam bulu tangkis yaitu Tunggal putri, Tunggal putra, Ganda putra, Ganda putri, Ganda campuran. Selain itu ada juga olahraga Sepak bola. Sepak bola adalah olahraga menggunakan bola yang dimainkan oleh dua tim yang masing-masing beranggotakan 11 (sebelas) orang. Sepak bola bertujuan untuk mencetak gol sebanyak-banyaknya dengan menggunakan bola kulit ke gawang lawan. Sepak bola dimainkan dalam lapangan yang berbentuk persegi panjang di atas rumput .Secara umum hanya penjaga gawang saja yang berhak menyentuh bola dengan tangan atau lengan di dalam daerah gawangnya, sedangkan 10 (sepuluh) pemain lainnya hanya diijinkan menggunakan seluruh tubuhnya selain tangan, biasanya dengan kaki untuk menendang, dada untuk mengontrol, dan kepala untuk menyundul bola. Tim yang mencetak gol lebih banyak pada akhir pertandingan adalah pemenangnya.

Jumat, 20 Desember 2013

WACANA ARGUMENTASI

Menyetujui Kenaikan Harga BBM

       
     Bahan Bakar Minyak (BBM) merupakan komoditas yang memegang peranan yang sangat vital dalam semua aktifitas ekonomi.  Oleh karena itu, rakyat berhak mengetahui latar belakang  dan pemikiran yang melandasi kebijakan Pemerintah yang menyangkut BBM, termasuk kenaikan harga BBM bersubsidi. Selama ini, pemerintah terus memberi subsidi untuk BBM yang dikeluarkan dari APBN, sehingga kita dapat membeli BBM lebih murah. Tetapi dengan kenyataan yang ada sekarang bahwa harga minyak dunia telah naik, jadi pemerintah tidak dapat menjual BBM kepada masyarakat dengan harga yang sama dengan sebelumnya karena hal itu dapat menyebabkan pengeluaran APBN untuk subsidi minyak lebih tinggi. Oleh karena itu, pemerintah mengambil kebijakan untuk menaikkan harga BBM. Kenaikan harga BBM saat ini tidak hanya disebabkan oleh kenaikan harga minyak dunia, tetapi juga melonjaknya konsumsi BBM bersubsidi karena kebutuhan masyarakat.  selain itu,  karena hutang Negara yang mulai menumpuk akibat  pengeluaran APBN untuk subsidi minyak menjadi lebih tinggi.
            Alasan pertama saya menyetujui kenaikan harga BBM karena harga minyak dunia saat ini melambung tinggi yaitu mencapai 40 % per- empat bulan. faktor utama yang memengaruhi naiknya harga minyak dunia yaitu  Invasi Amerika Serikat ke Irak.  invasi ini menyebabkan ladang minyak Irak tidak dapat berproduksi secara optimal sehingga supply minyak mengalami penurunan, badai Katrina dan Badai Rita yang melanda Amerika Serikat serta merusak kegiatan produksi minyak di Teluk Meksiko,  Ketidakmampuan OPEC untuk menstabilkan harga minyak dunia untuk perbandingan harga bensin seluruh dunia, Permintaan atau konsumsi minyak dunia lebih banyak dari pada produksinya, dan Negara produsen minyak mengurangi kuota produksinya karena berbagai alasan.
            Kemudian, saya juga menyetujui kenaikan harga BBM karena hutang Negara akibat  PENGELUARAN  APBN untuk subsidi minyak menjadi lebih tinggi dan hal tersebut dapat memperburuk perekonomian di negara kita. Tanpa kenaikan harga BBM, defisit APBN akan bertambah besar, demikian pula dengan defisit neraca perdagangan karena Indonesia telah menjadi importir neto minyak. Sejak awal dekade 2000, Indonesia telah beralih status dari negara eksportir menjadi neto importir minyak. Dengan importasi BBM dan minyak mentah yang mencapai lebih sepertiga dari kebutuhan nasional, harga BBM nasional sangat bergantung pada harga internasional, sehingga akan semakin menyedot anggaran negara yang seharusnya dapat digunakan untuk mensejahterakan rakyat miskin.
            kenaikan harga BBM  saat ini tidak hanya disebabkan oleh kenaikan harga minyak dunia dan hutang Negara akibat APBN berkurang, tetapi juga melonjaknya konsumsi BBM bersubsidi. Sebenarnya kita ketahui bahwa BBM bersubsidi disediakan untuk kelompok masyarakat yang tidak mampu. Namun kenyataannya, subsidi BBM dinikmati lebih 70 persen oleh kelas menengah pemilik mobil pribadi dan sepeda motor bersilinder tinggi. selama ini subsidi BBM justru banyak dinikmati oleh golongan mampu yang tak berhak. Oleh  karena itu, jika harga BBM dinaikkan, maka  akan ada penghematan anggaran yang bisa digunakan untuk membangun infrastruktur  dan memberikan pelayanan terbaik seperti infrastruktur untuk transportasi. Selain itu, dengan dikuranginya subsidi BBM maka akan tersedia anggaran untuk membantu rakyat miskin.
            Menaikkan harga BBM adalah langkah menstabilkan ekonomi, memperkecil beban APBN dan menghindari kita menambah hutang. apa yg terjadi kalau ekonomi goyah, hutang numpuk, dan terjadi Krisis Ekonomi seperti tahun 1996. penyebabnya apa? subsidi BBM kita terlalu besar dan hutang menumpuk. Dengan kenaikan harga BBM tersebut, maka terhitung mulai Sabtu, 22 Juni 2013  harga jual premium yang semula Rp 4.500 per liter kini menjadi Rp 6.500 per liter, Sedangkan harga Solar yang semula Rp 4.500 per liter menjadi Rp 5.500 per liter. Oleh karena itu, menurut saya Tidak ada langkah yang tidak butuh pengorbanan, anggaplah langkah pemerintah ini satu step mundur untuk beberap step maju berikutnya. Selain itu, dengan kenaikan harga BBM tersebut pemerintah juga sudah menyiapkan beberapa kompensasi seperti Bantuan Langsung Sementera, Bantuan Beras Miskin yang ditambah, Bantuan Program Keluarga Harapan yang ditambah anggarannya, bantuan untuk anak-anak sekolah dan lain-lain.

           
           

SEJARAH KEBUDAYAAN MENGENAI KESENIAN KHAS DESA TENGANAN, KARANGASEM- BALI



BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang
Bali adalah salah satu pulau di Indonesia yang memiliki berbagai macam kebudayaan dan adat istiadat. Kebudayaan Bali pada hakikatnya dilandasi oleh nilai-nilai yang bersumber pada ajaran agama Hindu dan masyarakat Bali itu sendiri. Identitas kebudayaan masyarakat Bali ada yang asli dari daerah Bali sendiri dan ada pula yang datang dari pulau Jawa. Penduduk asli daerah Bali berasal dari keluarga besar Autronesia  dan diperkirakan telah masuk ke Pulau Bali dua abad SM dan penduduk ini bertempat tinggal di desa tradisonal yang dikenal dengan sebutan Desa Bali Aga. Dalam perkembangan berikutnya barulah masuknya orang imigran dari Jawa yang melahirkan tipe Desa Apanaga.
Orang-orang Bali yang termasuk ke dalam kelompok Bali Aga adalah mereka yang berdiam di Pulau Bali  mendahului orang Bali Apanaga. Ini bermaksud untuk memberikan keterangan tentang orang Bali dengan kebudayaan Pra Hindu dengan orang Bali dengan Kebudayaan Hindu. Perbedaan ini terutama pada faktor geneologis dan faktor budaya. Perbedaan faktor geneologis, yaitu orang Bali Aga adalah termasuk ke dalam orang Bali Apanaga ditambah dengan orang Bali keturunan Mongoloid. Sedangkan orang Bali Apanaga atau orang Bali dataran Jawa Hindu yang datang ke  Bali melalui persebaran penduduk ekspedisi, seperti ekspedisi Singasari 1284 M dan ekspidisi Gajah Mada tahun 1343 M.
Perbedaan faktor budaya, sangat terlihat jelas antara Desa Bali aga dan Desa Apanaga karena pada umunya Desa Bali Aga terletak di  daerah-daerah pegunungan yang sangat jauh dengan hirup-pikuk perkembangan kehidupan, seperti di Karangasem, yaitu Desa Tenganan. Unsur kebudayaan pada daerah ini masih terasa kental karena menarik, unik, dan berbeda dengan daerah Bali lainnya. Kebudayaan yang dimaksud adalah unsur budaya kesenian. Depdiknas (2006: 5) menyatakan, kesenian merupakan bagian dari budaya dan merupakan sarana yang digunakan untuk mengekspresikan rasa keindahan dari dalam jiwa manusia.Kesenian yang ada di Desa Tenganan mempunyai cirri khas tersendiri karena pada umumnya Desa Bali Aga tidak terlalu kaku untuk menerima perubahan tetapi mereka tetap menjujung tinggi tradisi turun-temurun nenek moyang dan leluhur masing-masing.
Dalam mempelajari kebudayaan asli maupun kebudayaan yang telah bercampur dengan kebudayaan lain sesuai perkembangan zaman tentunya yang kita pelajari adalah suatu peninggalan sejarah kebudayaan yang nyata dan tetap menyimpan makna sendiri dari kebudayaan-kebudayaan tersebut. Sejarah nyata dari suatu kebudayaan dapat berupa karya seni berbagai bentuk. Oleh karena itu, perlu menganalisis kesenian-kesenian yang ada di Desa Tenganan dengan mengetahui sejarah, fungsi, keunikan kesenian tersebut.  Seperti halnya, kebudayaan kesenian tersebut tetap dijaga dengan mengedepankan seni untuk menjunjung nenek moyang, leluhur dan Tuhan yang Maha Kuasa.

1.2 Rumusan Masalah
            Dari latar belakang di atas, maka penulis dapat merumuskan masalah, antara lain :
1.      Bagaimana Sejarah Terbentuknya Desa Tenganan ?
2.      Bagaimana  Sejarah dan Keunikan Kesenian Kerajinan Kain Tenun Gringsing ?
3.      Bagaimana  Sejarah dan Keunikan Kesenian Geret Pandan ?
4.      Bagaimana  Sejarah dan Keunikan Kesenian Senu Lukis Prasi?
5.      Bagaimana Sejarah dan Keunikan Kesenian Arsitektur Bangunan?


1.3 Tujuan
1.       Untuk Mengetahui Sejarah Terbentuknya Desa Tenganan.
2.      Untuk Mengetahui Sejarah dan Keunikan Kesenian Kerajinan Kain Tenun Gringsing.
3.      Untuk Mengetahui  Sejarah dan Keunikan Kesenian Geret Pandan.
4.      Untuk Mengetahui  Sejarah dan Keunikan Kesenian Senu Lukis Prasi.
5.      Untuk Mengetahui  Sejarah dan Keunikan Kesenian Arsitektur Bangunan.

1.4 Manfaat
Manfaat yang dapat diperoleh melalui penulisan ini adalah sebagai berikut:
1.      Bagi masyarakat
                  Tulisan ini dapat digunakan sebagai referensi untuk mengetahui bagaimana peran masyarakat asli untuk melestarikan kebudayaan asli setempat, seperti kesenian dan system tatanan kehidupan masyarakat daerah setempat. Tulisan ini juga dapat digunakan untuk menambah kecintaan masyarakat terhadap arsitektur dan keunikan budaya tradisonal asli masyarakat Bali. Sehingga timbul rasa memiliki dan kebanggaan.
2.      Bagi penulis
Dengan melakukan penulisan ini, penulis mendapat banyak informasi mengenai budaya- budaya seni desa Tenganan dan system tatanan kemasyarakatan sebagai desa tradisional wisata serta, memotivasi penulis untuk lebih mencintai kebudayaan Bali.









BAB II
PEMBAHASAN

2.1  Sejarah Desa Tenganan



            










 Gambar Desa Tenganan



Tenganan adalah sebuah desa tradisional di pulau Bali. Desa ini terletak di Kecamatan Manggis, Kabupaten Karangasem di sebelah timur pulau Bali. Desa Tenganan merupakan salah satu desa Bali Aga. Bali Aga adalah desa yang masih mempertahankan pola hidup yang tata masyarakatnya mengacu pada aturan tradisional adat desa yang diwariskan nenek moyang mereka. Bentuk dan besar bangunan serta pekarangan, pengaturan letak bangunan, hingga letak pura dibuat dengan mengikuti aturan adat yang secara turun-temurun dipertahankan.
Menurut sebagian versi catatan sejarah, kata Tenganan berasal dari kata "tengah" atau "ngatengahang" yang memiliki arti "bergerak ke daerah yang lebih dalam". Kata tersebut berhubungan dengan pergerakan masyarakat desa dari daerah pinggir pantai ke daerah pemukiman di tengah perbukitan, yaitu Bukit Barat (Bukit Kauh) dan Bukit Timur (Bukit Kangin).


Masyarakat Desa Tenganan

Sejarah lain mengatakan bahwa keberadaan Desa Tenganan ini terkait erat dengan keberadaan  Raja Mayadanawa yang berpusat di Bedahulu. Mayadanawa disebutkan sebagai raja yang congkak dan tidak mau mengakui keberadaan Tuhan. Masyarakatnya juga dilarang melakukan ritualisasi kepada Tuhan. Akibat ulahnya tersebut, para Dewa di khayangan menjadi marah. Lalu, para dewa melakukan rapat di Gunung Agung. Hasilnya, Dewa Indra selaku dewa perang diutus ke bumi untuk memerangi Mayadanawa. Singkat cerita, dalam perang antara dewa Indra dengan Mayadanawa, raja berperangai raksasa itu kalah. Untuk merayakan kemenangannya itu, Indra bermaksud melaksanakan upacara Aswameda Yadnya. Dalam upacara menurut versi ini, Indra akan menggunakan seekor kuda putih yang bernama Ucchaih Srawa oang Bali menyebutnya Once Srawa untuk dijadikan kurbannya.
Kebetulan sekali, kuda ini digunakan Indra saat memerangi Mayadanawa. Tahu dirinya akan dijadikan kurban, kuda yang sakti tersebut langsung melarikan diri dari Bedahulu. Untuk mencari kudanya yang hilang, Indra akhirnya mengutus orang-orang Tenganan (ketika itu orang Tenganan masih tinggal di Bedahulu dekat Pejeng) untuk mencari kuda putihnya yang akan dijadikan kurban Aswameda.
Kelompok pencari kuda tersebut dibagi dua kelompok. Mereka mencari memencar dengan arah berlawanan. Satu kelompok mencari kearah utara, satunya lagi menuju timur. Kelompok yang menuju ke timur sangat beruntung karena berhasil menemukan kuda tersebut walaupun dalam keadaan mati. Kuda tersebut mereka temukan dilereng bukit Tenganan.

            Kelompok yang menemukan kuda ini tidak mau kembali ke Bedahulu. Indra yang mengetahui kejadian itu akhirnya memberikan wilayah disekitar bangkai kuda tersebut kepada kelompok yang menemukannya. Dengan syarat, sejauh mana bangkai kuda itu tercium, sejauh itu wilayah yang dihadiahkan. Akhirnya, karena ingin mendapatan wilayah yang luas, bangkai kuda tersebut langsung dipotong-potong dan dibawa sejauh mereka bisa berjalan. Keadaan inipun diketahui oleh Indra. Lalu, Indra memanggil orang-orang tersebut. Tempat dari mana Indra memanggil orang tersebut kini berdiri sebuah Pura yang bernama Pura Batu Madeg yang tempatnya disebelah pos Polisi Candidasa. Sedangkan ditempat orang yang membawa bangkai kuda tepatnya berbatasan dengan Desa Macang kini menjadi Pura Pengulapan. Kedua pura ini disungsung oleh Desa Tenganan.
Sampai saat inipun, Tenganan dengan masyarakat Bedahulu masih ada hubungan. Setiap sasih Kapat kalender Tenganan, masyarakat Bedahulu pasti melakukan persembahyangan ke Tenganan. Demikian juga Tenganan pada bulan yang ditentukan menurut kalender Tenganan akan melakukan persembahyangan ke Bedahulu. Peran Dewa Indra yang sangat besar dalam kejadian tersebut membuat warga Tenganan menjadi penganut Indra. Ini dibuktikan dengan adanya perang pandan yang merupakan ritual kepada Indra.

            Sementara itu, versi lainnya dikatakan oleh Sadra agak dekat dengan sejarah. Keberadaan Tenganan menurut versi ini dimulai dengan ketegangan antar sekta yang ada di Bali ketika pemerintahan Raja Udayana Warmadewa. Ketika itu, di Bali ada banyak sekta. Sekta inipun saat itu nampaknya tidak pernah akur dan sarat dengan intrik politik. Raja Udayana Warmadewa yang khawatir dengan kondisi ini langsung bersikap. Raja mengundang Mpu Kuturan yang merupakan penganut Buddha sebagai mediator. Pertemuan ini dikenal dengan Samuan Tiga yang artinya pertemuan tiga unsure yang terdiri Raja, sekta-sekta di Bali dan Mpu Kuturan sebagai mediator. Tempat melakukan pertemuan tersebut kini menjadi Pura Samuan Tiga yang ada di Bedahulu, Gianyar.
Berkat campur tangan Mpu Kuturan, keributan sekta-sekta tersebut bisa diredam dan menghasilkan paham Siwa. Untuk menyatukannya, maka dibangunlah Pura Besakih yang secara politis dinilai sebagai pemersatu masyarakat dari banyak Sekta.
Pada dasarnya, orang Tenganan menerima keputusan tersebut. Namun tidakah sepenuhnya. Bukti penerimaan dapat dilihat adanya bangunan pura Khayangan tiga dalam desa tersebut. Tetapi, masyarakat Tenganan lebih banyak ritualnya ditujukan kepada Indra. ‘’Orang-orang Tenganan itu penyembah Indra. Mereka kan orang Arya dari bangsa Ksatrya’’ujar Sadra saat itu.

            Namun demikian, menurut penemuan ilmiah. Pada tahun 1978, seorang ilmuwan asal Swis bernama George Breguet pernah melakukan studi genetika di Tenganan. Hasilnya, darah warga Tenganan ternyata memiliki kesamaan dengan darah orang Calkutta, India tepatnya dari Orisa, Benggali. Bukti lainnya yang menguatkan orang Tenganan ada hubungan dengan India yakni adanya tenun dobel ikat. Menurut Sadra, tenun ini hanya ditemukan ditiga lokasi yakni India, Jepang dan Tenganan (Indonesia). Bukti lainnya, di tanah Benggali hingga saat ini juga masih ditemukan ritual Bali Yatra yaitu perjalanan suci orang-orang Orissa ke Bali.corak kain Gringsing yang ada di Tenganan juga sangat mirip dengan corak kain Gringsing yang dibuat orang Orissa.
2.2  Budaya Seni Kerajinan Kain Gringsing Yang Terdapat Di Desa Tenganan
Kain gringsing adalah satu-satunya kain tenun tradisional Indonesia yang dibuat menggunakan teknik teknik dobel ikat dan memerlukan waktu 2-5 tahun. Kain ini berasal dari Desa Tenganan, Bali. Umumnya, masyarakat Tenganan memiliki kain gringsing berusia ratusan tahun yang digunakan dalam upacara khusus. Kata gringsing berasal dari gring yang berarti 'sakit' dan sing yang berarti 'tidak', sehingga bila digabungkan menjadi 'tidak sakit'. Maksud yang terkandung di dalam kata tersebut adalah seperti penolak bala. Di Bali, berbagai upacara, seperti upacara potong gigi, pernikahan, dan upacara keagamaan lain, dilakukan dengan bersandar pada kekuatan kain gringsing.
                       

     Proses Pembuatan Kain Tenun Gringsing
v  Sejarah kain tenun gringsing
Berdasarkan mitos, adanya kain tenun gringsing berawal dari Dewa Indra, pelindung dan guru kehidupan bagi masyarakat Tenganan. Dewa Indra kagum dengan keindahan langit di malam hari dan dia memaparkan keindahan tersebut melalui motif tenunan kepada rakyat pilihannya, yaitu rakyat Tenganan. Dewa itu mengajarkan para wanita untuk menguasai teknik menenun kain gringsing yang melukiskan dan mengabadikan keindahan bintang, bulan, matahari, dan hamparan langit lainnya. Kain tenun yang berwarna gelap alami digunakan masyarakat Tenganan dalam ritual keagamaan atau adat dan dipercaya memiliki kekuatan magis. Kain ini juga disebut-sebut merupakan alat yang mampu menyembuhkan penyakit dan menangkal pengaruh buruk. Pakar tekstil menyatakan bahwa teknik penenunan kain gringsing ini hanya dijumpai di tiga lokasi di dunia, yaitu Tenganan (Indonesia), Jepang, dan India.
Pada tahun 1984, Urs Ramseyer (1984) dalam tulisannya yang berjudul Clothing, Ritual and Society in Tenganan Pegeringsingan Bali, menyatakan dugaan bahwa masyarakat Tenganan sebagai sesama penganut Dewa Indra merupakan imigran dari India kuno. Imigran tersebut kemungkinan membawa teknik dobel ikat melalui pelayaran dari Orrisa atau Andhra Pradesh dan mengembangkan teknik tersebut secara independen di Tenganan. Kemungkinan lain adalah para imigran menguraikan kutipan-kutipan dari beberapa jenis tenun patola untuk dikembangkan di Indonesia.

Proses pembuatan kain gringsing dari awal hingga akhir dikerjakan dengan tangan. Benang yang digunakan merupakan hasil pintalan tangan dengan alat pintal tradisional, bukan mesin. Benang tersebut diperoleh dari kapuk berbiji satu yang didatangkan dari Nusa Penida karena hanya di tempat tersebut bisa didapatkan kapuk berbiji satu. Setelah selesai dipintal, benang akan mengalami proses perendaman dalam minyak kemiri sebelum dilanjutkan ke proses ikat dan pewarnaan. Perendaman tersebut bisa berlangsung lebih dari 40 hari hingga maksimum satu tahun dengan penggantian air rendaman setiap 25-49 hari. Semakin lama perendaman, benang akan makin kuat dan lebih lembut.
Buah kemiri (Aleurites moluccana) diambil langsung di hutan Tenganan dan pembuat kain gringsing harus menggunakan kemiri yang benar-benar matang, serta jatuh dari pohonnya. Hal ini sesuai dengan awig-awig (aturan adat) yang menyatakan bahwa beberapa jenis pohon tertentu (kemiri, keluak, tehep, dan durian) yang tumbuh di atas tanah milik individu tidak boleh dipetik oleh pemiliknya, melainkan hatus dibiarkan matang di pohon dan kemudian jatuh.
Benang akan dipintal menjadi sehelai kain yang memiliki panjang (sisi pakan) dan lebar (sisi lungsi) tertentu. Untuk merapatkan hasil tenunan, benang akan didorong menggunakan tulang kelelawar. Kain yang sudah jadi akan diikat oleh juru ikat mengikuti pola tertentu yang sudah ditentukan. Proses pengikatan menggunakan dua warna tali rafia, yaitu jambon dan hijau muda. Setiap ikatan akan dibuka sesuai proses pencelupan warna untuk menghasilkan motif dan pewarnaan yang sesuai.
Proses penataan benang, pengikatan, dan pewarnaan dilakukan pada sisi lungsi dan pakan, sehingga teknik tersebut disebut dobel ikat. Pada teknik tenun ikat biasa, umumnya hanya sisi pakan yang diberi motif, sedangkan sisi lungsi hanya berupa benang polos, atau sebaliknya. Pola yang dibuat pada kain harus ditenun dengan ketrampilan dan ketelitian sehingga setiap warna pada lungsi akan bertemu dengan warna yang sama pada pakan dan menghasilkan motif kain yang terlihat tegas.

v  Pewarna
Motif kain gringsing hanya menggunakan tiga warna yang disebut tridatu. Pewarna alami yang digunakan dalam pembuatan motif kain gringsing adalah 'babakan' (kelopak pohon) Kepundung putih (Baccaurea racemosa) yang dicampur dengan kulit akar mengkudu (Morinda citrifolia) sebagai warna merah, minyak buah kemiri berusia tua (± 1 tahun) yang dicampur dengan air serbuk/abu kayu sebagai warna kuning, dan pohon Taum untuk warna hitam.
v  Motif
Konon, dulunya jenis tenun gringsing berjumlah sekitar 20 jenis. Namun, hingga saat ini yang masih dikerjakan hanya beberapa saja, di antaranya adalah:
·         Lubeng, dicirikan dengan kalajengking dan berfungsi sebagai busana adat dan digunakan dalam upacara keagamaan. Ada beberapa macam motif Lubeng, yaitu Lubeng Luhur yang berukuran paling panjang (tiga bunga berbentuk kalajengkin yang masih utuh), Lubeng Petang Dasa (satu bunga kalajengking utuh di tengah dan di pinggir hanya setengah), dan Lubeng Pat Likur (ukurannya terkecil).
·         Sanan Empeg, dicirikan dengan tiga bentuk kotak-kotak/poleng berwarna merah-hitam. Fungsi kain gringsing bermotif ini adalah sebagai sarana upacara keagamaan dan adat, yaitu sebagai pelengkap sesajian bagi masyarakat Tenganan Pegeringsingan. Bagi masyarakat Bali di luar desa Tenganan, kain ini digunakan sebagai penutup bantal/alas kepala orang melaksanakan upacara manusa yadnya potong gigi.
·         Cecempakaan, dicirikan dengan bunga cempaka dan berfungsi sebagai busana adat dan upacara keagamaan. Jenis-jenis Gringsing Cecempakaan adalah Cecempakaan Petang Dasa (ukuran empat puluh), Cecempakaan Putri, dan Geringsing Cecempakaan Pat Likur (ukuran 24 benang).
·         Cemplong, dicirikan dengan bunga besar di antara bunga-bunga kecil sehingga terlihat ada kekosongan antara bunga yang menjadi cemplong. Gringsing cemplong juga berfungsi sebagai busana adat dan upacara agama. Jenis-jenisnya terdiri dari ukuran Pat Likur (24 benang), senteng/anteng (busana di pinggang wanita), dan ukuran Petang Dasa (40 benang) yang sudah hampir punah.
·         Gringsing Isi, motifnya semua berisi atau penuh, tidak ada bagian kain yang kosong. Motif ini berfungsi hanya untuk sarana upacara dan kuran yang ada hanya ukuran Pat Likur (24 benang).
·         Wayang, terdiri dari gringsing wayang kebo dan gringsing wayang putri. Motif ini paling sulit dikerjakan dan memerlukan waktu pembuatan hingga 5 tahun. Motif wayang hanya terdiri dari dua warna, yaitu hitam sebagai latar dan garis putih yang relatif halus untuk membentuk sosok wayang. Untuk menciptakan garis putih dengan tersebut diperlukan ketelitian tinggi karena tingkat kesulitan selama pengikatan dan penenunan kain relatif sulit. Wayang kebo memiliki motif wayang lelaki, sedangkan wayang putri hanya berisi motif wayang perempuan.
·         Batun Tuung, yang dicirikan dengan biji terung, Ukurannya tidak besar dan digunakan untuk senteng (selendang) pada wanita dan sabuk (ikat pinggang) tubumuhan pada pria. Motif ini sudah hampir punah.
Motif-motif kuno kain gringsing lainnya yang masih dikenal meliputi: Teteledan, Enjekan Siap, Pepare, Gegonggangan, Sitan Pegat, Dinding Ai, Dinding Sigading, dan Talidandan. Warna dan keunikan desain ikat mulai mengalami perubahan dibandingkan dengan motif kain-kain kuno yang sebagian tersimpan di museum-museum di Eropa, seperti Museum Basel, Swiss. Pada tahun 1972, kelompok peneliti dari Museum Fur Volkerkunde, Basel, membawa foto-foto kain gringsing yang sebagian sudah tidak ditemukan lagi di Desa Tenganan. Foto-foto tersebut dipelajari dan dibuat kembali oleh masyarakat Tenganan untuk melestarikan motif-motif kuno kain gringsing.


2.3  Budaya Seni Geret Pandan (Perang Pandan)


            tradisi perang pandan yang diadakan setiap tahun di desa Tenganan yaitu sebuah desa Bali Aga yang berada di kabupaten Karangasem, Bali. Tradisi perang pandan atau dalam bahasa Bali disebut dengan Mekare-kare dilakukan oleh pemuda dengan berpakaian adat Bali dengan bertelanjang dada. Prosesi perang pandan atau mekare-kare di Tenganan merupakan upacara persembahan untuk menghormati para leluhur dan juga Dewa Indra yang merupakan Dewa Perang, yang bertempur melawan Maya Denawa seorang raja keturunan raksasa yang sakti dan sewenag-wenang, yang melarang rakyatnya menyembah Tuhan. Keyakinan beragama di Tenganan berbeda dengan Agama Hindu lainnya di bali, tidak mengenal kasta dan meyakini Dewa Indra sebagai dewa Perang dan dewa dari segala Dewa. Untuk menhormati Dewa Indra mereka melakukan upacara perang Pandan.Tradisi ini diawali dengan melakukan ritual mengelilingi desa untuk memohon perlindungan dan keselamatan untuk sukses acara ini diselenggarakan.
Upacara perang pandan ini, memakai senjata pandan berduri yang perlambang sebuah gada yang dipakai berperang, perang berhadapan satu lawan satu dan diikuti oleh para lelaki baik itu anak-anak, dewasa maupun orang tua. Upacara perang pandan dirayakan pada bulan ke 5 kalender bali, selama 2 hari, setiap pertarungan berjalan singkat sekitar 1 menit dilakukan bergilir selama 3 jam.
Alat utama dalam tradisi ini adalah Tameng / perisai yang biasanya terbuat dari bambu atau rotan dan daun pandan yaitu tumbuhan semak yang daunnya memiliki duri-duri yang sangat tajam. Acara ini dilakukan oleh sepasang pemuda yang satu sama lainnya saling menjadi lawan mirip dalam pertandingan olah raga tinju dan ada seseorang yang bertugas untuk memimpin jalannya pertandingan layaknya wasit. Pertandingan akan berakhir setelah salah satu peserta sudah menyerah atau dirasa sudah cukup oleh pemimpin pertandingan. Karena tajamnya duri pandan yang dipakai dalam tradisi ini maka hampir semua peserta akan tergores dan mengucurkan darah, setelah acara selesai semua peserta akan diobati dengan obat tradisional yang telah disiapkan dan biasanya terbuat dari parutan kunyit dengan ditambahkan minyak kelapa. Akhir dari tradisi ini adalah peserta maupun masyarakat desa akan menyantap hidangan yang telah tersedia secara bersama-sama (megibung) dan disini terlihat kebersamaan dan kebahagian yang begitu kental.
2.3  Seni Lukis Prasi (Seni Lontar)


Seni lukis prasi merupakan salah satu karya seni rupa tradisional Bali, termasuk warisan budaya nenek moyang yang memiliki nilai estetika tinggi dan mempunyai karakteristik tersendiri. Bahan dasar terbuat dari daun lontar yang sampai sekarang masih tetap dilestarikan. Seni lukis prasi yang terbuat dari daun lontar dengan gambar ilustrasi wayang di dalamnya, merupakan transpormasi dari naskah/kitab sastra, seeperti: kakawin, kidung dan sebagainya, yang ditulis atau digambar dengan menggunakan pisau khusus yang disebut pangrupak.
Untuk menyingkap rahasia maupun kekhususan dari cara pembuatan lukisan prasi, harus dikaji dan dicermati proses keseluruhan, mulai dari menyiapkan/pengolahan bahan baku, peralatan yang dipakai, teknik menulis pada daun lontar (teknik menggambar) penulisan  sampai pewarnaannya.
Pengolahan Bahan
Bahan utama sebagai dasar untuk membuat gambar prasi adalah daun lontar. Istilah lontar dan rontal di Bali umumnya disamakan. Lontar adalah bentuk metatesis dari kata rontal. Kata rontal terdiri dari dua patah kata, yaitu ron dan tal. Kata ron dan tal itu termasuk bahasa Jawa Kuna yang diperkirakan sudah ada sebelum jaman Raja Balitung, awal abad ke-10. Ron artinya daun, dan tal artinya pohon. Kata rontal dan lontar itu sudah menjadi perbendaharaan bahasa Indonesia umum (Suwidja, 1979:1).
Dengan begitu, sebutan daun rontal dipakai untuk menyebut daun dari pihon lontar yang sebelum dipergunakan sebagai bahan tulis. Sedang setelah ia dipakai sebagai bahan tulis seperti tulisan naskah kakawin, kidung, dan gegambaran, maka ia disebut lontar. Maka muncul pula  nama atau istilah yang memakai kata “Pustaka Lontar” maupun “budaya lontar”.
Untuk mengenal lebih dekat tentang bahan baku khususnya lontar di Bali, sebaiknya terlebih dahulu diketahui tentang daun lontar itu sendiri. Daun rontal sebagai bahan baku utama seni lukis prasi dihasilkan oleh pohon rontal (barrosus sundaicus), termasuk keluarga palma (palmacase) Pohon ini tumbuh di daerah tropis dengan keadaan tanah yang kering serta curah hujan yang rendah/jarang (Suwidja, 1979:2).
Kabupaten Karangasem yang terletak paling Timur pulau Bali, yang merupakan kabupaten mempunyai karakteristik seperti yang disebutkan di atas, yaitu musim kemaraunya panjang, banyak lahan yang mengalami kekeringan dan tandus. Di wilayah kabupaten Karangasem, ada dua kecamatan, yaitu kecamatan Abang dan kecamatan Kubu, yang memiliki lahan tanaman pohon rontal yang persebarannya cukup luas. Hampir semua desa-desa yang wilayahnya berbatasan dengan kedua wilayah kecamatan tersebut banyak tumbuh pohon lontar. Di antaranya, desa Datah, kecamatan Abang dan desa Kubu serta desa Tianyar yang merupakan wilayah perbatasan antara kabupaten Karangasem dengan kabupaten Buleleng. Di wilayah desa tersebut, didominasi oleh jenis tumbuhan pohon rontal dibandingkan dengan jenis tumbuhan yang lainnya. Tumbuhnya pohon rontal secara liar, tumbuh dengan sendirinya tanpa melalui pembudidayaan. Daun rontal, biasanya dijual ke tempat-tempat pembuatan seni lukis prasi oleh penduduk desa penghasil daun rontal. Salah satu di antaranya adalah desa Tenganan Pegringsingan.
Sebagai dasar menulis maupun menggambar, ternyata daun rontal sudah menjadi tradisi jaman dahulu. Jaman dahulu oleh karena di Nusantara belum ada kertas maka daun lontar dipakai alat tulis menulis. Adapun cara dan peraturan membuat kertas dari daun rontal , sudah ditulis oleh pujangga Indonesia pada jaman dahulu kala. Yang berarti pula daun rontal itu sudah dipergunakan dari sejak jaman dahulu di Nusantara termasuk Bali sebagai alat tulis maupun menggambar (Suwidja, 1979: 3).
Untuk menghasilkan bahan yang siap pakai dalam menggambar prasi, daun rontal sebelum di gunakan harus diproses atau diolah terlebih dahulu. Dalam pengolahan bahan ada beberapa hal yang perlu mendapat perhatian agar diperoleh hasil sesuai yang diinginkan. Untuk itu, dipilih daun rontal yang serat-seratnya halus dan permukaannya yang mulus. Daun rontal yang baik untuk melukis prasi adalah rontal taluh ( ental taluh)  yang mempunyai serat-serat yang halus, lebih lebar dan panjang.
Pada umumnya di Bali dikenal tiga jenis rontal/ental, yaitu:  (1) Ental Taluh, yang memiliki serat halus, lebih lebar dan panjang. Apabila ditulisi dengan alat pangrupak suaranya sangat ringan atau halus. (2) Ental Guak, memiliki setar agak kasar, lebar dan pangjang sedang, saat dipakai digores dengan alat pangrupak menimbulkan suara yang lebih keras, karena seratnya lebih kasar, harus ditekan lebih kuat. (3) Ental Kedis, serat-seratnya halus tetapi ukurannya terlalu kecil, panjang dan lebarnya kurang memadai. Bila digores hasilnya sama dengan Ental Taluh halus dan lembut. Hanya bisa digunakan untuk gambar yang berukuran kecil (Suwidja, 1979: 5).
Cara pengolahan daun rontal di Tenganan Pegringsingan dilakukan secara turun temurun. Daun rontal yang baru dibeli atau dipetik dari pohonnya, kemudian dijemur selama satu sampai dua hari sampai agak kering (Bali: alumudang). Kemudian semua lidi-lidi yang terdapat pada daun diambil atau dihilangkan. Setelah dihilangkan lidi-lidinya daun rontal kemudian dipotong ujung-ujungnya atau bagian yang tidak bisa dipergunakan, misalnya bagian yang cacat atau robek.
Selanjutnya daun direndam dalam air tawar selama 3 – 4 hari, kemudian dikeringkan dengan cara menganginkan atau membiarkan dalam keadaan terbuka pada tempat yang teduh. Setelah kering dipotong kedua ujungnya serta tulang (lidi) daun dibuang sehingga diperoleh lembatan-lembaran yang rapi memanjang dengan ukuran tertentu, yang siap untuk proses berikutnya.
Untuk menghilangkan zat hijau daunnya, direndam dengan air tawar selama tiga sampai empat hari, kemudian dibersihkan dengan sikat (sepet) yang dibuat dari sabut kelapa guna menghilangkan bintik-bintik dan kotoran-kotoran lainnya. Apabila daun rontal tersebut sudah bersih benar, kembali dijemur selama satu hari. Untuk membuat daun rontal menjadi lemas atau tidak kaku, dan membikin warnanya supaya  agak kuning kemerah-merahan (Bali: gading) daun rontal harus rirebus. Waktu merebus, daun rontal yang sudah disiapkat digulung rapi terlebih dahulu, kemuadian baru dimaksukkan ke dalam air yang mendidih. Terlebih dahulu air telah dicampur dengan daun liligundi (Vitex trifolia L.), gambir secukupnya dan kunyit warangan. Apabila air yang dipergunakan telah mendidih sampai dua kali lalu diangkat ditiriskan dan dijemur sampai kering. Dan bila ada kesulitan waktu meratakan (mungkin karena terlalu kering) maka perlu ditaruh pada tempat yang teduh (Bali: dayuhin). Setelah agak lemas baru diratakan dengan menyusunnya satu demi satu atau helai demi helai lalu di jepit (dipres) dengan sebuah alat yang disebut blagbag  selama kurang lebih 10 hari.
Selanjutnya, daun lontar direbus dalam air mendidih selama 3 jam, dan sebagai bahan pengawet ditambahkan kulit pohon kelapa, kulit pohon kopi, kulit pohon intaran, dan daun pepaya dalam jumlah disesuaikan dengan banyaknya air rebusan. Adapun penggunaan dari bahan-bahan tambahan yang disebutkan,  disamping sebagai pengawet juga  supaya lentur dan tidak mudah patah.
Proses berikutnya, daun lontar dicuci sampai bersih, dijemur dibawah sinar matahari sampai benar-benar kering. Selanjutnya di pres dengan menggunakan alat yang sederhana, terbuat dari balok kayu yang dirancang sedemikian rupa, yang berfungsi mengencangkan permukaan daun lontar.
Daun lontar yang sudah disiapkan, sebelum ditulis atau diberi gambar, masih perlu dirapikan, diberi lubang untuk lontar yang memakai tali. Pinggir lontar diamplas dan diberi cat  warna merah yang diramu sendiri oleh si seniman. Warna merah yang dibuat disebut gincu, yang terdiri dari ramuan seperti: gambir ditambahkan air secukupnya. Gambir setelah dicampur dengan air akan memunculkan warna merah kekuningan yang disebut warna gincu.
Bahan pewarna, yang digunakan melukis prasi oleh para seniman di Tenganan Pegringsingan menggunakan daging buah kemiri yang sudah dibakar. Buah kemiri dikupas, dicari dagingnya kemudian dibakar sampai berwarna hitam. Arang tersebut diambil digunakan untuk mewarnai. Warna yang dihasilkan sudah tentu hitam sesuai dengan warna arang dari buah kemiri. Kemudian, diamkan beberapa saat. Setelah itu, daun lontar pun siap dilukis.

2.4 Seni Arsitektur Bangunan Desa Tenganan
Pola permukiman desa Tenganan Pegeringsingan, Karangsasem. Dengan awangan, rumah tinggal warga desa tersusun linier dari Utara-Selatan dengan pintu pekarangan/jelanan awang menghadap Barat atau Timur (Sumber: Hidratno 1973:Runa, 1993; Sudarma, 2003)
Lingkungan Desa Tenganan Pageringsingan, merupakan lingkungan "tertutup" dengan masing-masing sebuah pintu pada setiap arah mata angin. Untuk memasukinya, mesti melewati awangan yaitu rangkaian halaman depan masing-masing pekarangan rumah tinggal. Ciri kekunoannya, tampak sedang mengalami perubahan sangat mencolok, karena masyarakat tampak makin lama makin bersifat pragmatis. Padahal di masa lalu, kegiatan hampir seluruh warga Tenganan adalah kegiatan peribadatan; tak ada tanah milik pribadi, yang ada adalah tanah desa. Hal itu tampak bekas bekasnya di awangan.Bangunan baru beorientasi ke luar, bukaan tidak ke jelanan awangan lagi.

 
Awangan: ruang bersama tradisi Bali Aga
Awangan ini berundak-undak dengan lapisan batu kali (ciri kebudayaan megalitik) makin ke Utara makin tinggi. Batas awangan yang satu dengan awangan lainnya yang saling berhadapan adalah sebuah selokan air yang disebut boatan. Sedangkan sebagai batas halaman belakang masing-masing pekarangan rumah tinggal juga berupa selokan air selebar 1 m - 1,5 m yang disebut teba pisan. Jumlah awangan sebagai jalan membujur dari utara ke selatan adalah 3 buah yaitu awangan kauh (Barat) yang paling lebar dan berfungsi sebagai awangan utama didirikan paling banyak fasilitas umum (bangunan adat dan bangunan suci), awangan tengah, dan awangan kangin (Timur) (Hidratno 1973: 2-17, Runa, 1993: 83 dalam Sudarma, 2003:30).
Perubahan: dahulunya digunakan untuk menyimpan alat-alat upacara dan pertanian tapi sekarang digunakan untuk memajang barang dagangan.
Dulu padi yang ditanam adalah padi lokal yang tahan lama disimpan, tetapi dengan kebijakan pemerintah di bidang pertanian maka padi yang ditanam tidak tahan lama disimpan sehingga jineng (kumbung) menjadi kosong) dan mungkin lama kelamaan hilang; kalau pun ada, bisa jadi bukan gabah bakal beras yang disimpan, tetapi barang kerajinan bakal dolar industri wisata seperti gambar di atas.
Dengan demikian maka awangan adalah halaman luar dari rumah tinggal, ruang sosial sekaligus sebagai jalan. Sedangkan teba sebagai halaman belakang letaknya di belakang dapur (paon) sehari-harinya merupakan tempat membuang kotoran dan memelihara babi. Kapling bangunan yang dipakai sebagai tempat tinggal disebut pekarangan yang terletak di tengah antara awangan dan teba. Menurut tradisi tutur adalah desa “keturunan prajurit Majapahit” (Pangarsa, 1992). Bisa jadi, tradisi permukiman Bali Aga dan Majapahit, sebetulnya tak berbeda jauh.
Dalam satu pekarangan ada beberapa tipe bangunan (bale-bale). Pintu masuk (jelanan awang atau kori ngeleb), bale buga (tempat upacara dan tempat menyimpan benda keramat milik desa, peralatan upacara/pertanian, serta tempat tidur orang tua), bale tengah (tempat upacara kelahiran /tebenan, upacara kematian/luanan; untuk tempat tidur, menerima tamu, menenun, dan dudukduduk ada "bale tambahan" yang disebut pelipir), paon termasuk pintu belakangnya, serta sangah kelod (tempat sembahyang dan sesajen untuk Brahma/Pertiwi di pojok Barat Laut, Wisnu/Betara Majapahit di Tenggara, dan Siwa/Hyang Guru di atas) merupakan bangunan-bangunan wajib yang harus dimiliki oleh tiap-tiap keluarga dengan berbagai ketentuan desa menyangkut letak, bentuk, serta bahannya, sedangkan bangunan lainnya seperti bale meten, kamar mandi/wc, dan sangah kaja (pesimpangan) merupakan bangunan tidak wajib atau dapat didirikan bangunan-bangunan lain sesuai dengan kehendak masing-masing keluarga.
Bale tengah. Bagian depannya untuk menyemayamkan jenasah, bagian belakang untuk melahirkan, bagian atasnya sebagai tempat menaruh padi kering (Modifikasi, Runa, 1993: 115; Sudarma, 2003:43).Sekarang fungsinya bertambah sebagai tempat memajang barang-barang seni serta bagian belakang sebagai tempat tidur sehari-hari.
Sejalan dengan tata fisik lingkungan desanya, maka tata, fisik masing-masing rumah tinggalnya juga menghasilkan terapan konsep dasar arsitektur tradisional yang sama, misalnya: bangunan-bangunan suci (bale buga, sanggah kelod, dan sanggah pesimpangan) letaknya di depan dekat awangan sebagai Utama Mandala, semakin ke pinggir terletak bangunan tempat tinggal (bale tengah dan bale meten) sebagai Madia Mandala, sedangkan paling di pinggir bangunan servis (paon dan km/wc) sebagai Nista Mandala (Sudarma, 2003:41).
Natah: dari pekarangan semi-privat menjadi show room
Adanya bangunan semi permanen pada sebagian besar natah/ pekarangan mengakibatkan pekarangan yang relatif kecil tersebut terasa semakin sumpek. Secara konsepsual, setelah tahun 1980-an, pola lingkungan Desa Adat Tenganan Pegringsingan belum berubah. Tapi perubahan-perubahan fisik berupa penambahan bangunan pada ruang desa dan pekarangan kini makin terasa. Awangan tetap sebagai daerah bernilai utama tempat sebagian besar bangunan religius. Semakin ke daerah pinggir, terletak pekarangan rumah tinggal daerah bernilai nista. Yang paling pinggir adalah kuburan. Fasilitas umum baru cenderung bertambah sejalan dengan program-program pembangunan pemerintah. Namun ada perubahan mencolok. Salah satu pengaruh adanya fasilitas umum baru adalah berkurangnya pekarangan rumah tinggal desa karena pada pekarangan yang kosong itulah pada umumnya fasilitas itu dibangun. Seperti bangunan rumah tinggal guru di sebelah selatan gedung sekolah dasar, fasilitas tersebut tidak hanya mengurangi pekarangan rumah tinggal milik desa, tapi juga merusak tatanan yang ada karena dibangun tidak sesuai dengan nilai-nilai tradisi setempat. Beberapa fasilitas umum baru lainnya (listrik, telepon, air bersih, parkir) dibangun sesuai dengan pola lingkungan yang sudah ada.
Menjadi pedagang membawa konsekuensi: natah disiasati menjadi ruang multifungsi sehingga menyebabkan di zona bale buga dibangun warung (gambar atas). Bale buga menjadi lebih kecil
Pada umumnya tata letak bangunan-bangunan (bale-bale) dalam pekarangan masih tetap mengikuti tata nilai Tri Mandala (utama-madia-nista). Bale yang dikategorikan suci seperti buga dan sanggah terletak di depan dekat awangan, bale profan seperti bale tengah dan meten terletak di tengah, sedangkan bangunan pelayanan seperti paon (dapur), kamar mandi/wc, serta ruang cuci terletak di belakang dekat teba. Pada beberapa pekarangan tempat berjualan mendominasi bale-bale lainnya.
Perubahan: rumah adat: fungsi rumah sebagai rumah tinggal dan ruko (ruang yang ada dalam rumah lebih banyak dipakai untuk kepentingan perdagangan) dan terjadi pengaburan; zona natah berubah sebagai tempat memajang barang-barang dagangan sehingga semua ruang seolah menempati nilai madya/nista (Modifikasi Runa, 1993: 99 dalam Sudarma, 2003:42).
Unit-unit bangunan baru selain bale-bale dan sanggah seperti ruang tidur, ruang kerja, tower air, dan gudang pada umumnya diletakkan di daerah nista. Kamar mandi/wc yang dulunya terbuka, kini hampir semua berupa kamar mandi/wc tertutup, letaknya di daerah nista sebelah selatan dapur. Bale meten dalam fungsi komersial untuk mengantisipasi industri wisata
Di balik variasi tata fisik tersebut tampaknya tersirat adanya kelompok status sosial: kelompok elit, kelompok terdidik, kelompok kaya serta kelompok hamba desa (wong angendok jenek). Kelompok elit atau bangsawan, statusnya tercermin pada bale buga yang besar (3 sela). Variasi perubahan unit-unit bangunan mereka relatif kecil (sedikit).
Kelompok terdidik/berpendidikan lebih tinggi dibanding warga lainnya, statusnya tercermin pada bangunan bale meten. Bale ini banyak berubah menjadi bangunan "modern" seperti di kota. Mereka membangun bangunan yang ruangnya kompleks, efisien, sistem strukturnya menyatu antara struktur utama, dengan struktur sekundernya, berfasade tertutup, serta cenderung menggunakan. material buatan. Pintu masuk pekarangan dilengkapi dengan ramp untuk memperlancar keluar masuknya kendaraan bermotornya.
Kelompok kaya, statusnya tercermin pada langgam bangunan yang digunakan yaitu langgam tradisional Majapahit dengan berbagai ornamen berbentuk pepalihan pepatran dan kekarangan dari material kayu, batu padas, dan batu bata. Pada beberapa rumah keseluruhan ornamen tersebut diukir. Tentu saja langgam tersebut memerlukan biaya cukup besar. Ciri lainnya adalah banyaknya barang dagangan dipajang pada bangunan, termasuk di halaman depan (awangan), natah ditutup, papan nama dan secara keseluruhan variasi perubahan rumah tinggalnya lebih besar dibanding kelompok elit desa.
Kelompok hamba desa (wong angendok jenek), yang ciri-cirinya antara lain pada kualitas unit bangunan umumnya lebih rendah dibanding ketiga kelompok sebelumnya. Tata letak dan dimensi bangunan sakral tidak sepenuhnya mengikuti aturan desa adat setempat; seperti tata letak sanggah kelod, sanggah kaja, bahkan pamerajannya, cenderung menggunakan material buatan yang murah dan praktis. Langgam yang dipakai kebanyakan tanpa ornamen, sistem struktur dan konstruksinya fungsional. Kelompok ini umumnya tinggal di Banjar Pande.

 Budaya  Arsitektur Desa Bali Aga Tenganan
Pola permukiman Desa Tenganan mengelompok di tengah-tengah desa, dikelilingi oleh Bukit Kangin, Bukit Kauh dan Bukit Kaja. Sedangkan di selatan merupakan pintu keluar desa menuju Sedahan, desa tetangganya. Secara umum, struktur desa tersusun atas empat arah mata angin yang sekaligus merupakan ''lawangan''. Aktivitas kehidupan terletak pada bagian tengah, sementara sisi barat dan timur difungsikan untuk kuburan, sisi utara sebagai sumber ekonomi atau pertahanan pangan, dan sisi selatan difungsikan untuk pemujaan terhadap leluhur.
Permukiman terletak di sisi Barat Daya wilayah desa, menempati lahan seluas 300x800 meter. Permukiman terdiri dari tiga banjar, leretan yaitu Banjar Kauh di sebelah barat, Banjar Tengah, dan Banjar Kangin atau Pande di sebelah timur. Banjar Kauh dan Tengah adalah banjar ‘asli’ Tenganan Pegringsingan, sementara Banjar Pande merupakan banjar yang dihuni warga yang pernah melanggar aturan adat dan orang luar yang diminta desa adat tinggal untuk keperluan upacara. Setiap warga Tenganan yang sudah menikah, terutama warga Banjar Kauh dan Tengah diharuskan berpisah dengan orang tuanya dan menempati rumah mereka sendiri yang dibangun di atas lahan kosong. Rumah yang dibangun harus mengikuti struktur rumah Tenganan.
Desa yang luasnya sekitar 1500 hektar ini tetap mempertahankan bangunan-bangunan penting dan rumah-rumahnya seperti aslinya, yatu tiga balai desa dan rumah-rumah adat yang berderet dan sama persis satu dengan lainnya. Sepanjang jalan setapak, terdapat ratusan rumah berderet berhimpitan. Hampir semua bangunan terbuat dari batu bata merah atau batu kali yang ditambal dengan tanah. Uniknya, pintu masuk rumah penduduk itu sempit, hanya berukuran satu orang dewasa, dan bagian atas pintu menyatu dengan atap rumah yang terbuat dari rumbia.






BAB III
PENUTUP

1.      Kesimpulan
Dari uraian di atas dapat penulis simpulkan bahwa Bali adalah salah satu pulau di Indonesia yang memiliki berbagai macam kebudayaan dan adat istiadat. Kebudayaan Bali pada hakikatnya dilandasi oleh nilai-nilai yang bersumber pada ajaran agama Hindu dan masyarakat Bali itu sendiri. Identitas kebudayaan masyarakat Bali ada yang asli dari daerah Bali disebut dengan Bali Aga.  Masyarakat Bali Aga terdapat di beberapa desa yang ada di Bali, seperti Desa Tenganan. Kebudayaan yang terdapat di Desa Tenganan mempunyai karakter tersendiri, seperti kebudayaan keseniaanya. Kesenian desa Tenganan unik dan menarik. Kesenian itu, diantaranya seni kerajinan kain gringsing, seni prasi, seni, geret pandan, dan seni arsitektur bangunannya. Kesenian tersebut mempunyai sejarah dan keunikan tersendiri.

2.      Saran

Dari uraian di atas penulis dapat menyarankan bahwa, desa Bali Aga mempunyai kesenian yang begitu menarik dan unik. Oleh karena itu, kita sebagai masyarakat Indonesia, khususnya masyarakat Bali harus tetap melestarikan dan menjaga kesenian tersebut agar tidak punah dan di akui oleh orang lain. Selain itu, kesenian-kesenian tersebut harus diturunkan ke generasi selanjutnya dengan tetap mempertahankan kebudayaan, tradisi, dan adat istiadat yang ada.






DAFTAR PUSTAKA

Depdiknas. 2006. Standar isi 2006 “Mata Pelajaran Seni Budaya”. Jakarta: Pusat KurikulumBadan Penelitian
Dwijendra, Ngakan Ketut Acwin.2009. Arsitektur dan Kebudayaan Bali Kuno. Udayana University Press.
Sudarma. 2006. Arsitektur dan Kebudayaan Bali Desa Tenganan. Denpasar.

Daftar laman:
Kayam Umar. (1981). Seni Tradisi Masyarakat. Jakarta ; Sinar Harapan.
http://e-kuta.com/blog/tempat-wisata/berwisata-di-desa-tradisional-tenganan.html