BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Bali adalah salah satu pulau di Indonesia yang memiliki
berbagai macam kebudayaan dan adat istiadat. Kebudayaan Bali pada hakikatnya
dilandasi oleh nilai-nilai yang bersumber pada ajaran agama Hindu dan
masyarakat Bali itu sendiri. Identitas kebudayaan masyarakat Bali ada yang asli
dari daerah Bali sendiri dan ada pula yang datang dari pulau Jawa. Penduduk
asli daerah Bali berasal dari keluarga besar Autronesia dan diperkirakan
telah masuk ke Pulau Bali dua abad SM dan penduduk ini bertempat tinggal di desa
tradisonal yang dikenal dengan sebutan Desa Bali Aga. Dalam perkembangan
berikutnya barulah masuknya orang imigran dari Jawa yang melahirkan tipe Desa
Apanaga.
Orang-orang Bali yang termasuk ke dalam kelompok Bali Aga
adalah mereka yang berdiam di Pulau Bali mendahului orang Bali Apanaga.
Ini bermaksud untuk memberikan keterangan tentang orang Bali dengan kebudayaan
Pra Hindu dengan orang Bali dengan Kebudayaan Hindu. Perbedaan ini terutama
pada faktor geneologis dan faktor budaya. Perbedaan faktor geneologis, yaitu
orang Bali Aga adalah termasuk ke dalam orang Bali Apanaga ditambah dengan
orang Bali keturunan Mongoloid. Sedangkan orang Bali Apanaga atau orang Bali
dataran Jawa Hindu yang datang ke Bali melalui persebaran penduduk
ekspedisi, seperti ekspedisi Singasari 1284 M dan ekspidisi Gajah Mada tahun
1343 M.
Perbedaan faktor budaya, sangat
terlihat jelas antara Desa Bali aga dan Desa Apanaga karena pada umunya Desa
Bali Aga terletak di daerah-daerah
pegunungan yang sangat jauh dengan hirup-pikuk perkembangan kehidupan, seperti
di Karangasem, yaitu Desa Tenganan. Unsur kebudayaan pada daerah ini masih
terasa kental karena menarik, unik, dan berbeda dengan daerah Bali lainnya.
Kebudayaan yang dimaksud adalah unsur budaya kesenian. Depdiknas (2006: 5) menyatakan,
kesenian merupakan bagian dari budaya dan merupakan sarana
yang digunakan untuk mengekspresikan rasa keindahan dari dalam jiwa manusia.Kesenian yang ada di Desa Tenganan
mempunyai cirri khas tersendiri karena pada umumnya Desa Bali Aga tidak terlalu
kaku untuk menerima perubahan tetapi mereka tetap menjujung tinggi tradisi
turun-temurun nenek moyang dan leluhur masing-masing.
Dalam mempelajari kebudayaan asli maupun kebudayaan yang
telah bercampur dengan kebudayaan lain sesuai perkembangan zaman tentunya yang
kita pelajari adalah suatu peninggalan sejarah kebudayaan yang nyata dan tetap
menyimpan makna sendiri dari kebudayaan-kebudayaan tersebut. Sejarah nyata dari
suatu kebudayaan dapat berupa karya seni berbagai bentuk. Oleh karena itu,
perlu menganalisis kesenian-kesenian yang ada di Desa Tenganan dengan
mengetahui sejarah, fungsi, keunikan kesenian tersebut. Seperti halnya, kebudayaan kesenian tersebut
tetap dijaga dengan mengedepankan seni untuk menjunjung nenek moyang, leluhur
dan Tuhan yang Maha Kuasa.
1.2 Rumusan Masalah
Dari latar belakang di atas, maka
penulis dapat merumuskan masalah, antara lain :
1.
Bagaimana
Sejarah Terbentuknya Desa Tenganan ?
2.
Bagaimana Sejarah dan Keunikan Kesenian Kerajinan Kain
Tenun Gringsing ?
3.
Bagaimana Sejarah dan Keunikan Kesenian Geret Pandan ?
4.
Bagaimana Sejarah dan Keunikan Kesenian Senu Lukis
Prasi?
5.
Bagaimana
Sejarah dan Keunikan Kesenian Arsitektur Bangunan?
1.3 Tujuan
1.
Untuk Mengetahui Sejarah Terbentuknya Desa
Tenganan.
2.
Untuk
Mengetahui Sejarah dan Keunikan Kesenian Kerajinan Kain Tenun Gringsing.
3.
Untuk
Mengetahui Sejarah dan Keunikan Kesenian
Geret Pandan.
4.
Untuk
Mengetahui Sejarah dan Keunikan Kesenian
Senu Lukis Prasi.
5.
Untuk
Mengetahui Sejarah dan Keunikan Kesenian
Arsitektur Bangunan.
1.4 Manfaat
Manfaat yang dapat diperoleh melalui penulisan ini adalah
sebagai berikut:
1.
Bagi masyarakat
Tulisan
ini dapat digunakan sebagai referensi untuk mengetahui bagaimana peran
masyarakat asli untuk melestarikan kebudayaan asli setempat, seperti kesenian
dan system tatanan kehidupan masyarakat daerah setempat. Tulisan ini juga dapat
digunakan untuk menambah kecintaan masyarakat terhadap arsitektur dan keunikan
budaya tradisonal asli masyarakat Bali. Sehingga timbul rasa memiliki dan
kebanggaan.
2.
Bagi penulis
Dengan melakukan penulisan ini, penulis mendapat banyak
informasi mengenai budaya- budaya seni desa Tenganan dan system tatanan
kemasyarakatan sebagai desa tradisional wisata serta, memotivasi penulis untuk
lebih mencintai kebudayaan Bali.
BAB II
PEMBAHASAN
2.1 Sejarah
Desa Tenganan
Tenganan
adalah sebuah desa tradisional di pulau
Bali. Desa ini terletak
di
Kecamatan Manggis,
Kabupaten Karangasem di sebelah timur pulau
Bali. Desa Tenganan merupakan salah satu desa Bali Aga. Bali Aga adalah desa
yang masih mempertahankan pola hidup yang tata masyarakatnya mengacu pada
aturan tradisional adat desa yang diwariskan nenek moyang mereka. Bentuk dan
besar bangunan serta pekarangan, pengaturan letak bangunan, hingga letak pura
dibuat dengan mengikuti aturan adat yang secara turun-temurun dipertahankan.
Menurut
sebagian versi catatan sejarah, kata Tenganan berasal dari kata
"tengah" atau "ngatengahang" yang memiliki arti
"bergerak ke daerah yang lebih dalam". Kata tersebut berhubungan
dengan pergerakan masyarakat desa dari daerah pinggir pantai ke daerah
pemukiman di tengah perbukitan, yaitu Bukit Barat (Bukit Kauh) dan Bukit Timur
(Bukit Kangin).
Sejarah lain
mengatakan bahwa keberadaan Desa Tenganan ini terkait erat dengan
keberadaan Raja Mayadanawa yang berpusat
di Bedahulu. Mayadanawa disebutkan sebagai raja yang congkak dan tidak mau
mengakui keberadaan Tuhan. Masyarakatnya juga dilarang melakukan ritualisasi
kepada Tuhan. Akibat ulahnya tersebut, para Dewa di khayangan menjadi marah.
Lalu, para dewa melakukan rapat di Gunung Agung. Hasilnya, Dewa Indra selaku
dewa perang diutus ke bumi untuk memerangi Mayadanawa. Singkat cerita, dalam
perang antara dewa Indra dengan Mayadanawa, raja berperangai raksasa itu kalah.
Untuk merayakan kemenangannya itu, Indra bermaksud melaksanakan upacara
Aswameda Yadnya. Dalam upacara menurut versi ini, Indra akan menggunakan seekor
kuda putih yang bernama Ucchaih Srawa oang Bali menyebutnya Once Srawa untuk
dijadikan kurbannya.
Kebetulan
sekali, kuda ini digunakan Indra saat memerangi Mayadanawa. Tahu dirinya akan
dijadikan kurban, kuda yang sakti tersebut langsung melarikan diri dari
Bedahulu. Untuk mencari kudanya yang hilang, Indra akhirnya mengutus
orang-orang Tenganan (ketika itu orang Tenganan masih tinggal di Bedahulu dekat
Pejeng) untuk mencari kuda putihnya yang akan dijadikan kurban Aswameda.
Kelompok
pencari kuda tersebut dibagi dua kelompok. Mereka mencari memencar dengan arah
berlawanan. Satu kelompok mencari kearah utara, satunya lagi menuju timur.
Kelompok yang menuju ke timur sangat beruntung karena berhasil menemukan kuda
tersebut walaupun dalam keadaan mati. Kuda tersebut mereka temukan dilereng
bukit Tenganan.
Kelompok
yang menemukan kuda ini tidak mau kembali ke Bedahulu. Indra yang mengetahui
kejadian itu akhirnya memberikan wilayah disekitar bangkai kuda tersebut kepada
kelompok yang menemukannya. Dengan syarat, sejauh mana bangkai kuda itu
tercium, sejauh itu wilayah yang dihadiahkan. Akhirnya, karena ingin mendapatan
wilayah yang luas, bangkai kuda tersebut langsung dipotong-potong dan dibawa
sejauh mereka bisa berjalan. Keadaan inipun diketahui oleh Indra. Lalu, Indra
memanggil orang-orang tersebut. Tempat dari mana Indra memanggil orang tersebut
kini berdiri sebuah Pura yang bernama Pura Batu Madeg yang tempatnya disebelah
pos Polisi Candidasa. Sedangkan ditempat orang yang membawa bangkai kuda tepatnya
berbatasan dengan Desa Macang kini menjadi Pura Pengulapan. Kedua pura ini
disungsung oleh Desa Tenganan.
Sampai saat
inipun, Tenganan dengan masyarakat Bedahulu masih ada hubungan. Setiap sasih
Kapat kalender Tenganan, masyarakat Bedahulu pasti melakukan persembahyangan ke
Tenganan. Demikian juga Tenganan pada bulan yang ditentukan menurut kalender
Tenganan akan melakukan persembahyangan ke Bedahulu. Peran Dewa Indra yang
sangat besar dalam kejadian tersebut membuat warga Tenganan menjadi penganut
Indra. Ini dibuktikan dengan adanya perang pandan yang merupakan ritual kepada
Indra.
Sementara
itu, versi lainnya dikatakan oleh Sadra agak dekat dengan sejarah. Keberadaan
Tenganan menurut versi ini dimulai dengan ketegangan antar sekta yang ada di
Bali ketika pemerintahan Raja Udayana Warmadewa. Ketika itu, di Bali ada banyak
sekta. Sekta inipun saat itu nampaknya tidak pernah akur dan sarat dengan
intrik politik. Raja Udayana Warmadewa yang khawatir dengan kondisi ini
langsung bersikap. Raja mengundang Mpu Kuturan yang merupakan penganut Buddha
sebagai mediator. Pertemuan ini dikenal dengan Samuan Tiga yang artinya
pertemuan tiga unsure yang terdiri Raja, sekta-sekta di Bali dan Mpu Kuturan
sebagai mediator. Tempat melakukan pertemuan tersebut kini menjadi Pura Samuan
Tiga yang ada di Bedahulu, Gianyar.
Berkat campur
tangan Mpu Kuturan, keributan sekta-sekta tersebut bisa diredam dan
menghasilkan paham Siwa. Untuk menyatukannya, maka dibangunlah Pura Besakih
yang secara politis dinilai sebagai pemersatu masyarakat dari banyak Sekta.
Pada dasarnya, orang Tenganan menerima keputusan tersebut. Namun tidakah
sepenuhnya. Bukti penerimaan dapat dilihat adanya bangunan pura Khayangan tiga
dalam desa tersebut. Tetapi, masyarakat Tenganan lebih banyak ritualnya ditujukan
kepada Indra. ‘’Orang-orang Tenganan itu penyembah Indra. Mereka kan orang Arya
dari bangsa Ksatrya’’ujar Sadra saat itu.
Namun
demikian, menurut penemuan ilmiah. Pada tahun 1978, seorang ilmuwan asal Swis
bernama George Breguet pernah melakukan studi genetika di Tenganan. Hasilnya,
darah warga Tenganan ternyata memiliki kesamaan dengan darah orang Calkutta,
India tepatnya dari Orisa, Benggali. Bukti lainnya yang menguatkan orang
Tenganan ada hubungan dengan India yakni adanya tenun dobel ikat. Menurut
Sadra, tenun ini hanya ditemukan ditiga lokasi yakni India, Jepang dan Tenganan
(Indonesia). Bukti lainnya, di tanah Benggali hingga saat ini juga masih
ditemukan ritual Bali Yatra yaitu perjalanan suci orang-orang Orissa ke
Bali.corak kain Gringsing yang ada di Tenganan juga sangat mirip dengan corak
kain Gringsing yang dibuat orang Orissa.
2.2
Budaya Seni Kerajinan
Kain Gringsing Yang Terdapat Di Desa Tenganan
Kain gringsing adalah satu-satunya kain tenun
tradisional Indonesia yang dibuat menggunakan teknik teknik dobel ikat dan
memerlukan waktu 2-5 tahun. Kain ini berasal dari Desa Tenganan, Bali. Umumnya,
masyarakat Tenganan memiliki kain gringsing berusia ratusan tahun yang
digunakan dalam upacara khusus. Kata gringsing berasal dari gring yang
berarti 'sakit' dan sing yang berarti 'tidak', sehingga bila digabungkan
menjadi 'tidak sakit'. Maksud yang terkandung di dalam kata tersebut adalah
seperti penolak bala. Di Bali, berbagai upacara, seperti upacara potong gigi,
pernikahan, dan upacara keagamaan lain, dilakukan dengan bersandar pada
kekuatan kain gringsing.
Proses Pembuatan Kain Tenun Gringsing
v Sejarah kain tenun gringsing
Berdasarkan
mitos, adanya kain tenun gringsing berawal dari Dewa Indra, pelindung dan guru
kehidupan bagi masyarakat Tenganan. Dewa Indra kagum dengan keindahan langit di
malam hari dan dia memaparkan keindahan tersebut melalui motif tenunan kepada
rakyat pilihannya, yaitu rakyat Tenganan. Dewa itu mengajarkan para wanita
untuk menguasai teknik menenun kain gringsing yang melukiskan dan mengabadikan
keindahan bintang, bulan, matahari, dan hamparan
langit lainnya. Kain tenun yang berwarna gelap alami digunakan masyarakat
Tenganan dalam ritual keagamaan atau adat dan dipercaya
memiliki kekuatan magis. Kain ini juga disebut-sebut merupakan alat yang mampu
menyembuhkan penyakit dan menangkal pengaruh buruk. Pakar tekstil menyatakan bahwa teknik
penenunan kain gringsing ini hanya dijumpai di tiga lokasi di dunia, yaitu
Tenganan (Indonesia), Jepang, dan India.
Pada tahun
1984, Urs Ramseyer (1984) dalam tulisannya yang berjudul Clothing, Ritual
and Society in Tenganan Pegeringsingan Bali, menyatakan dugaan bahwa
masyarakat Tenganan sebagai sesama penganut Dewa Indra merupakan imigran dari
India kuno. Imigran tersebut kemungkinan membawa teknik dobel ikat melalui
pelayaran dari Orrisa atau Andhra Pradesh dan
mengembangkan teknik tersebut secara independen di Tenganan. Kemungkinan lain
adalah para imigran menguraikan kutipan-kutipan dari
beberapa jenis tenun patola untuk dikembangkan di Indonesia.
Proses
pembuatan kain gringsing dari awal hingga akhir dikerjakan dengan tangan.
Benang yang digunakan merupakan hasil pintalan tangan dengan alat pintal
tradisional, bukan mesin. Benang tersebut diperoleh dari kapuk berbiji satu
yang didatangkan dari Nusa Penida karena hanya di tempat tersebut bisa
didapatkan kapuk berbiji satu.
Setelah selesai dipintal, benang akan mengalami proses perendaman dalam minyak
kemiri sebelum dilanjutkan ke proses ikat dan pewarnaan. Perendaman tersebut
bisa berlangsung lebih dari 40 hari hingga maksimum satu tahun dengan
penggantian air rendaman setiap 25-49 hari. Semakin lama perendaman, benang akan
makin kuat dan lebih lembut.
Buah kemiri (Aleurites
moluccana) diambil langsung di hutan Tenganan dan pembuat kain gringsing
harus menggunakan kemiri yang benar-benar matang, serta jatuh dari pohonnya.
Hal ini sesuai dengan awig-awig (aturan adat) yang menyatakan bahwa beberapa
jenis pohon tertentu (kemiri, keluak, tehep, dan durian) yang tumbuh
di atas tanah milik individu tidak boleh dipetik oleh pemiliknya, melainkan
hatus dibiarkan matang di pohon dan kemudian jatuh.
Benang akan
dipintal menjadi sehelai kain yang memiliki panjang (sisi pakan) dan lebar
(sisi lungsi) tertentu. Untuk merapatkan hasil tenunan, benang akan didorong
menggunakan tulang kelelawar. Kain yang sudah jadi akan diikat oleh
juru ikat mengikuti pola tertentu yang sudah ditentukan. Proses pengikatan
menggunakan dua warna tali rafia, yaitu jambon dan hijau muda. Setiap ikatan
akan dibuka sesuai proses pencelupan warna untuk menghasilkan motif dan
pewarnaan yang sesuai.
Proses penataan
benang, pengikatan, dan pewarnaan dilakukan pada sisi lungsi dan pakan,
sehingga teknik tersebut disebut dobel ikat. Pada teknik tenun ikat biasa,
umumnya hanya sisi pakan yang diberi motif, sedangkan
sisi lungsi hanya berupa benang polos, atau sebaliknya. Pola yang dibuat pada
kain harus ditenun dengan ketrampilan dan ketelitian sehingga setiap warna pada
lungsi akan bertemu dengan warna yang sama pada pakan dan menghasilkan motif
kain yang terlihat tegas.
v Pewarna
Motif kain
gringsing hanya menggunakan tiga warna yang disebut tridatu. Pewarna
alami yang digunakan dalam pembuatan motif kain gringsing adalah 'babakan'
(kelopak pohon) Kepundung putih (Baccaurea racemosa) yang dicampur
dengan kulit akar mengkudu (Morinda citrifolia) sebagai
warna merah, minyak buah kemiri berusia tua (± 1 tahun) yang dicampur dengan air
serbuk/abu kayu sebagai warna kuning, dan pohon Taum untuk warna hitam.
v Motif
Konon, dulunya
jenis tenun gringsing berjumlah sekitar 20 jenis. Namun, hingga saat ini yang masih
dikerjakan hanya
beberapa saja, di antaranya adalah:
·
Lubeng, dicirikan dengan kalajengking dan berfungsi
sebagai busana adat dan digunakan dalam upacara keagamaan. Ada beberapa macam
motif Lubeng, yaitu Lubeng Luhur yang berukuran paling panjang (tiga bunga
berbentuk kalajengkin yang masih utuh), Lubeng Petang Dasa (satu bunga
kalajengking utuh di tengah dan di pinggir hanya setengah), dan Lubeng Pat
Likur (ukurannya terkecil).
·
Sanan Empeg, dicirikan dengan tiga
bentuk kotak-kotak/poleng berwarna merah-hitam. Fungsi kain gringsing bermotif
ini adalah sebagai sarana upacara keagamaan dan adat, yaitu sebagai pelengkap
sesajian bagi masyarakat Tenganan Pegeringsingan. Bagi masyarakat Bali di luar
desa Tenganan, kain ini digunakan sebagai penutup bantal/alas kepala orang
melaksanakan upacara manusa yadnya potong gigi.
·
Cecempakaan, dicirikan dengan bunga cempaka dan berfungsi
sebagai busana adat dan upacara keagamaan. Jenis-jenis Gringsing Cecempakaan
adalah Cecempakaan Petang Dasa (ukuran empat puluh), Cecempakaan Putri, dan
Geringsing Cecempakaan Pat Likur (ukuran 24 benang).
·
Cemplong, dicirikan dengan bunga besar
di antara bunga-bunga kecil sehingga terlihat ada kekosongan antara bunga yang
menjadi cemplong. Gringsing cemplong juga berfungsi sebagai busana adat dan
upacara agama. Jenis-jenisnya terdiri dari ukuran Pat Likur (24 benang),
senteng/anteng (busana di pinggang wanita), dan ukuran Petang Dasa (40 benang)
yang sudah hampir punah.
·
Gringsing Isi, motifnya semua berisi
atau penuh, tidak ada bagian kain yang kosong. Motif ini berfungsi hanya untuk
sarana upacara dan kuran yang ada hanya ukuran Pat Likur (24 benang).
·
Wayang, terdiri dari gringsing wayang
kebo dan gringsing wayang putri. Motif ini paling sulit dikerjakan dan
memerlukan waktu pembuatan hingga 5 tahun. Motif wayang hanya terdiri dari dua
warna, yaitu hitam sebagai latar dan garis putih yang relatif halus untuk
membentuk sosok wayang. Untuk menciptakan garis putih dengan tersebut
diperlukan ketelitian tinggi karena tingkat kesulitan selama pengikatan dan
penenunan kain relatif sulit. Wayang kebo memiliki motif wayang lelaki,
sedangkan wayang putri hanya berisi motif wayang perempuan.
·
Batun Tuung, yang dicirikan dengan biji
terung, Ukurannya
tidak besar dan digunakan untuk senteng (selendang) pada wanita dan sabuk (ikat
pinggang) tubumuhan pada pria. Motif ini sudah hampir punah.
Motif-motif
kuno kain gringsing lainnya yang masih dikenal meliputi: Teteledan, Enjekan
Siap, Pepare, Gegonggangan, Sitan Pegat, Dinding Ai, Dinding Sigading, dan
Talidandan. Warna dan keunikan desain ikat mulai mengalami perubahan
dibandingkan dengan motif kain-kain kuno yang sebagian tersimpan di
museum-museum di Eropa, seperti Museum Basel, Swiss. Pada tahun
1972, kelompok peneliti dari Museum Fur Volkerkunde, Basel, membawa
foto-foto kain gringsing yang sebagian sudah tidak ditemukan lagi di Desa
Tenganan. Foto-foto tersebut dipelajari dan dibuat kembali oleh masyarakat
Tenganan untuk melestarikan motif-motif kuno kain gringsing.
2.3 Budaya Seni Geret Pandan (Perang
Pandan)
tradisi
perang pandan yang diadakan setiap tahun di desa Tenganan yaitu sebuah desa
Bali Aga yang berada di kabupaten Karangasem, Bali. Tradisi perang pandan atau
dalam bahasa Bali disebut dengan Mekare-kare dilakukan oleh pemuda dengan
berpakaian adat Bali dengan bertelanjang dada. Prosesi perang pandan atau
mekare-kare di Tenganan merupakan upacara persembahan untuk menghormati para
leluhur dan juga Dewa Indra yang merupakan Dewa Perang, yang bertempur melawan
Maya Denawa seorang raja keturunan raksasa yang sakti dan sewenag-wenang, yang
melarang rakyatnya menyembah Tuhan. Keyakinan beragama di Tenganan berbeda
dengan
Agama Hindu lainnya di bali, tidak mengenal
kasta dan meyakini Dewa Indra sebagai dewa Perang dan dewa dari segala Dewa.
Untuk menhormati Dewa Indra mereka melakukan upacara perang Pandan.Tradisi ini
diawali dengan melakukan ritual mengelilingi desa untuk memohon perlindungan
dan keselamatan untuk sukses acara ini diselenggarakan.
Upacara
perang pandan ini, memakai senjata pandan berduri yang perlambang sebuah gada
yang dipakai berperang, perang berhadapan satu lawan satu dan diikuti oleh para
lelaki baik itu anak-anak, dewasa maupun orang tua. Upacara perang pandan dirayakan
pada bulan ke 5 kalender bali, selama 2 hari, setiap pertarungan berjalan
singkat sekitar 1 menit dilakukan bergilir selama 3 jam.
Alat utama
dalam tradisi ini adalah Tameng / perisai yang biasanya terbuat dari bambu atau
rotan dan daun pandan yaitu tumbuhan semak yang daunnya memiliki duri-duri yang
sangat tajam. Acara ini dilakukan oleh sepasang pemuda yang satu sama lainnya
saling menjadi lawan mirip dalam pertandingan olah raga tinju dan ada seseorang
yang bertugas untuk memimpin jalannya pertandingan layaknya wasit. Pertandingan
akan berakhir setelah salah satu peserta sudah menyerah atau dirasa sudah cukup
oleh pemimpin pertandingan. Karena tajamnya duri pandan yang dipakai dalam
tradisi ini maka hampir semua peserta akan tergores dan mengucurkan darah,
setelah acara selesai semua peserta akan diobati dengan obat tradisional yang
telah disiapkan dan biasanya terbuat dari parutan kunyit dengan ditambahkan
minyak kelapa. Akhir dari tradisi ini adalah peserta maupun masyarakat desa
akan menyantap hidangan yang telah tersedia secara bersama-sama (megibung) dan
disini terlihat kebersamaan dan kebahagian yang begitu kental.
2.3
Seni Lukis
Prasi (Seni Lontar)
Seni
lukis prasi merupakan salah satu karya seni rupa tradisional Bali, termasuk
warisan budaya nenek moyang yang memiliki nilai estetika tinggi dan mempunyai
karakteristik tersendiri. Bahan
dasar terbuat dari daun lontar yang sampai sekarang masih tetap dilestarikan.
Seni lukis prasi yang terbuat dari daun lontar dengan gambar ilustrasi wayang
di dalamnya, merupakan transpormasi dari naskah/kitab sastra, seeperti:
kakawin, kidung dan sebagainya, yang ditulis atau digambar dengan menggunakan
pisau khusus yang disebut pangrupak.
Untuk menyingkap rahasia maupun kekhususan dari cara
pembuatan lukisan prasi, harus dikaji dan dicermati proses keseluruhan, mulai
dari menyiapkan/pengolahan bahan baku, peralatan yang dipakai, teknik menulis
pada daun lontar (teknik menggambar) penulisan sampai pewarnaannya.
Pengolahan
Bahan
Bahan utama sebagai dasar untuk membuat gambar prasi
adalah daun lontar. Istilah lontar dan rontal di Bali umumnya disamakan. Lontar
adalah bentuk metatesis dari kata rontal. Kata rontal terdiri dari dua patah
kata, yaitu ron dan tal. Kata ron dan tal itu termasuk bahasa Jawa Kuna yang
diperkirakan sudah ada sebelum jaman Raja Balitung, awal abad ke-10. Ron
artinya daun, dan tal artinya pohon. Kata rontal dan lontar itu sudah menjadi
perbendaharaan bahasa Indonesia umum (Suwidja, 1979:1).
Dengan begitu, sebutan daun rontal dipakai untuk menyebut
daun dari pihon lontar yang sebelum dipergunakan sebagai bahan tulis. Sedang
setelah ia dipakai sebagai bahan tulis seperti tulisan naskah kakawin, kidung,
dan gegambaran, maka ia disebut lontar. Maka muncul pula nama atau istilah yang memakai kata “Pustaka
Lontar” maupun “budaya lontar”.
Untuk
mengenal lebih dekat tentang bahan baku khususnya lontar di Bali, sebaiknya
terlebih dahulu diketahui tentang daun lontar itu sendiri. Daun rontal sebagai
bahan baku utama seni lukis prasi dihasilkan oleh pohon rontal (barrosus
sundaicus), termasuk keluarga palma (palmacase) Pohon ini tumbuh di daerah
tropis dengan keadaan tanah yang kering serta curah hujan yang rendah/jarang
(Suwidja, 1979:2).
Kabupaten
Karangasem yang terletak paling Timur pulau Bali, yang merupakan kabupaten
mempunyai karakteristik seperti yang disebutkan di atas, yaitu musim kemaraunya
panjang, banyak lahan yang mengalami kekeringan dan tandus. Di wilayah
kabupaten Karangasem, ada dua kecamatan, yaitu kecamatan Abang dan kecamatan
Kubu, yang memiliki lahan tanaman pohon rontal yang persebarannya cukup luas.
Hampir semua desa-desa yang wilayahnya berbatasan dengan kedua wilayah
kecamatan tersebut banyak tumbuh pohon lontar. Di antaranya, desa Datah,
kecamatan Abang dan desa Kubu serta desa Tianyar yang merupakan wilayah
perbatasan antara kabupaten Karangasem dengan kabupaten Buleleng. Di wilayah
desa tersebut, didominasi oleh jenis tumbuhan pohon rontal dibandingkan dengan
jenis tumbuhan yang lainnya. Tumbuhnya pohon rontal secara liar, tumbuh dengan
sendirinya tanpa melalui pembudidayaan. Daun rontal, biasanya dijual ke
tempat-tempat pembuatan seni lukis prasi oleh penduduk desa penghasil daun
rontal. Salah satu di antaranya adalah desa Tenganan Pegringsingan.
Sebagai
dasar menulis maupun menggambar, ternyata daun rontal sudah menjadi tradisi
jaman dahulu. Jaman dahulu oleh
karena di Nusantara belum ada kertas maka daun lontar dipakai alat tulis
menulis. Adapun cara dan peraturan membuat kertas dari daun rontal , sudah
ditulis oleh pujangga Indonesia pada jaman dahulu kala. Yang berarti pula daun
rontal itu sudah dipergunakan dari sejak jaman dahulu di Nusantara termasuk
Bali sebagai alat tulis maupun menggambar (Suwidja, 1979: 3).
Untuk menghasilkan bahan yang siap pakai dalam menggambar
prasi, daun rontal sebelum di gunakan harus diproses atau diolah terlebih
dahulu. Dalam pengolahan bahan ada beberapa hal yang perlu mendapat perhatian
agar diperoleh hasil sesuai yang diinginkan. Untuk itu, dipilih daun rontal
yang serat-seratnya halus dan permukaannya yang mulus. Daun rontal yang baik
untuk melukis prasi adalah rontal taluh ( ental taluh) yang mempunyai serat-serat yang halus, lebih
lebar dan panjang.
Pada umumnya di Bali dikenal tiga jenis rontal/ental,
yaitu: (1) Ental Taluh, yang memiliki
serat halus, lebih lebar dan panjang. Apabila ditulisi dengan
alat pangrupak suaranya sangat ringan atau halus. (2) Ental Guak, memiliki
setar agak kasar, lebar dan pangjang sedang, saat dipakai digores dengan alat
pangrupak menimbulkan suara yang lebih keras, karena seratnya lebih kasar,
harus ditekan lebih kuat. (3) Ental Kedis, serat-seratnya halus tetapi
ukurannya terlalu kecil, panjang dan lebarnya kurang memadai. Bila digores
hasilnya sama dengan Ental Taluh halus dan lembut. Hanya bisa digunakan untuk
gambar yang berukuran kecil (Suwidja, 1979: 5).
Cara
pengolahan daun rontal di Tenganan Pegringsingan dilakukan secara turun
temurun. Daun rontal yang baru dibeli atau dipetik dari pohonnya, kemudian
dijemur selama satu sampai dua hari sampai agak kering (Bali: alumudang).
Kemudian semua lidi-lidi yang terdapat pada daun diambil atau dihilangkan.
Setelah dihilangkan lidi-lidinya daun rontal kemudian dipotong ujung-ujungnya
atau bagian yang tidak bisa dipergunakan, misalnya bagian yang cacat atau
robek.
Selanjutnya
daun direndam dalam air tawar selama 3 – 4 hari, kemudian dikeringkan dengan
cara menganginkan atau membiarkan dalam keadaan terbuka pada tempat yang teduh.
Setelah kering dipotong kedua ujungnya serta tulang (lidi) daun dibuang
sehingga diperoleh lembatan-lembaran yang rapi memanjang dengan ukuran
tertentu, yang siap untuk proses berikutnya.
Untuk
menghilangkan zat hijau daunnya, direndam dengan air tawar selama tiga sampai
empat hari, kemudian dibersihkan dengan sikat (sepet) yang dibuat dari sabut
kelapa guna menghilangkan bintik-bintik dan kotoran-kotoran lainnya. Apabila
daun rontal tersebut sudah bersih benar, kembali dijemur selama satu hari.
Untuk membuat daun rontal menjadi lemas atau tidak kaku, dan membikin warnanya
supaya agak kuning kemerah-merahan
(Bali: gading) daun rontal harus rirebus. Waktu merebus, daun rontal yang sudah
disiapkat digulung rapi terlebih dahulu, kemuadian baru dimaksukkan ke dalam
air yang mendidih. Terlebih dahulu air telah dicampur dengan daun liligundi
(Vitex trifolia L.), gambir secukupnya dan kunyit warangan. Apabila air yang
dipergunakan telah mendidih sampai dua kali lalu diangkat ditiriskan dan
dijemur sampai kering. Dan bila ada kesulitan waktu meratakan (mungkin karena
terlalu kering) maka perlu ditaruh pada tempat yang teduh (Bali: dayuhin).
Setelah agak lemas baru diratakan dengan menyusunnya satu demi satu atau helai
demi helai lalu di jepit (dipres) dengan sebuah alat yang disebut blagbag selama kurang lebih 10 hari.
Selanjutnya,
daun lontar direbus dalam air mendidih selama 3 jam, dan sebagai bahan pengawet
ditambahkan kulit pohon kelapa, kulit pohon kopi, kulit pohon intaran, dan daun
pepaya dalam jumlah disesuaikan dengan banyaknya air rebusan. Adapun penggunaan
dari bahan-bahan tambahan yang disebutkan,
disamping sebagai pengawet juga
supaya lentur dan tidak mudah patah.
Proses berikutnya, daun lontar dicuci sampai bersih,
dijemur dibawah sinar matahari sampai benar-benar kering. Selanjutnya di pres
dengan menggunakan alat yang sederhana, terbuat dari balok kayu yang dirancang
sedemikian rupa, yang berfungsi mengencangkan permukaan daun lontar.
Daun lontar yang sudah disiapkan, sebelum ditulis atau
diberi gambar, masih perlu dirapikan, diberi lubang untuk lontar yang memakai
tali. Pinggir lontar diamplas dan diberi cat
warna merah yang diramu sendiri oleh si seniman. Warna merah yang dibuat
disebut gincu, yang terdiri dari ramuan seperti: gambir ditambahkan air
secukupnya. Gambir setelah dicampur dengan air akan memunculkan warna merah
kekuningan yang disebut warna gincu.
Bahan pewarna, yang digunakan melukis prasi oleh para
seniman di Tenganan Pegringsingan menggunakan daging buah kemiri yang sudah
dibakar. Buah kemiri dikupas, dicari dagingnya kemudian dibakar sampai berwarna
hitam. Arang tersebut diambil digunakan untuk mewarnai. Warna yang dihasilkan
sudah tentu hitam sesuai dengan warna arang dari buah kemiri. Kemudian, diamkan
beberapa saat. Setelah itu, daun lontar pun siap dilukis.
2.4
Seni Arsitektur Bangunan Desa Tenganan
Pola permukiman desa
Tenganan Pegeringsingan, Karangsasem. Dengan awangan, rumah tinggal warga desa
tersusun linier dari Utara-Selatan dengan pintu pekarangan/jelanan awang
menghadap Barat atau Timur (Sumber: Hidratno 1973:Runa, 1993; Sudarma, 2003)
Lingkungan Desa Tenganan Pageringsingan,
merupakan lingkungan "tertutup" dengan masing-masing sebuah pintu
pada setiap arah mata angin. Untuk memasukinya, mesti melewati awangan yaitu
rangkaian halaman depan masing-masing pekarangan rumah tinggal. Ciri
kekunoannya, tampak sedang mengalami perubahan sangat mencolok, karena
masyarakat tampak makin lama makin bersifat pragmatis. Padahal di masa lalu,
kegiatan hampir seluruh warga Tenganan adalah kegiatan peribadatan; tak ada
tanah milik pribadi, yang ada adalah tanah desa. Hal itu tampak bekas bekasnya
di awangan.Bangunan baru beorientasi ke luar, bukaan tidak ke jelanan
awangan lagi.
Awangan: ruang bersama tradisi Bali Aga
Awangan ini berundak-undak dengan lapisan batu kali
(ciri kebudayaan megalitik) makin ke Utara makin tinggi. Batas awangan yang
satu dengan awangan lainnya yang saling berhadapan adalah sebuah selokan air
yang disebut boatan. Sedangkan sebagai batas halaman belakang masing-masing pekarangan
rumah tinggal juga berupa selokan air selebar 1 m - 1,5 m yang disebut teba
pisan. Jumlah awangan sebagai jalan membujur dari utara ke selatan adalah 3
buah yaitu awangan kauh (Barat) yang paling lebar dan berfungsi sebagai awangan
utama didirikan paling banyak fasilitas umum (bangunan adat dan bangunan suci),
awangan tengah, dan awangan kangin (Timur) (Hidratno 1973: 2-17, Runa, 1993: 83
dalam Sudarma, 2003:30).
Perubahan: dahulunya digunakan untuk menyimpan
alat-alat upacara dan pertanian tapi sekarang digunakan untuk memajang barang
dagangan.
Dulu padi yang ditanam adalah padi lokal yang
tahan lama disimpan, tetapi dengan kebijakan pemerintah di bidang pertanian
maka padi yang ditanam tidak tahan lama disimpan sehingga jineng (kumbung)
menjadi kosong) dan mungkin lama kelamaan hilang; kalau pun ada, bisa jadi
bukan gabah bakal beras yang disimpan, tetapi barang kerajinan bakal dolar
industri wisata seperti gambar di atas.
Dengan demikian maka awangan adalah halaman luar
dari rumah tinggal, ruang sosial sekaligus sebagai jalan. Sedangkan teba
sebagai halaman belakang letaknya di belakang dapur (paon) sehari-harinya
merupakan tempat membuang kotoran dan memelihara babi. Kapling bangunan yang
dipakai sebagai tempat tinggal disebut pekarangan yang terletak di tengah
antara awangan dan teba. Menurut tradisi tutur adalah desa “keturunan prajurit
Majapahit” (Pangarsa, 1992). Bisa jadi, tradisi permukiman Bali Aga dan
Majapahit, sebetulnya tak berbeda jauh.
Dalam satu pekarangan ada beberapa tipe bangunan
(bale-bale). Pintu masuk (jelanan awang atau kori ngeleb), bale buga (tempat
upacara dan tempat menyimpan benda keramat milik desa, peralatan
upacara/pertanian, serta tempat tidur orang tua), bale tengah (tempat upacara
kelahiran /tebenan, upacara kematian/luanan; untuk tempat tidur, menerima tamu,
menenun, dan dudukduduk ada "bale
tambahan" yang disebut pelipir), paon termasuk pintu belakangnya, serta
sangah kelod (tempat sembahyang dan sesajen untuk Brahma/Pertiwi di pojok Barat
Laut, Wisnu/Betara Majapahit di Tenggara, dan Siwa/Hyang Guru di atas) merupakan
bangunan-bangunan wajib yang harus dimiliki oleh tiap-tiap keluarga dengan
berbagai ketentuan desa menyangkut letak, bentuk, serta bahannya, sedangkan
bangunan lainnya seperti bale meten, kamar mandi/wc, dan sangah kaja
(pesimpangan) merupakan bangunan tidak wajib atau dapat didirikan
bangunan-bangunan lain sesuai dengan kehendak masing-masing keluarga.
Bale tengah. Bagian depannya untuk menyemayamkan
jenasah, bagian belakang untuk melahirkan, bagian atasnya sebagai tempat
menaruh padi kering (Modifikasi, Runa, 1993: 115; Sudarma, 2003:43).Sekarang
fungsinya bertambah sebagai tempat memajang barang-barang seni serta bagian
belakang sebagai tempat tidur sehari-hari.
Sejalan dengan tata fisik lingkungan desanya,
maka tata, fisik masing-masing rumah tinggalnya juga menghasilkan terapan
konsep dasar arsitektur tradisional yang sama, misalnya: bangunan-bangunan suci
(bale buga, sanggah kelod, dan sanggah pesimpangan) letaknya di depan dekat
awangan sebagai Utama Mandala, semakin ke pinggir terletak bangunan tempat tinggal
(bale tengah dan bale meten) sebagai Madia Mandala, sedangkan paling di pinggir
bangunan servis (paon dan km/wc) sebagai Nista Mandala (Sudarma, 2003:41).
Natah: dari pekarangan semi-privat menjadi show room
Adanya bangunan semi permanen pada sebagian besar
natah/ pekarangan mengakibatkan pekarangan yang relatif kecil tersebut terasa
semakin sumpek. Secara konsepsual, setelah tahun 1980-an, pola lingkungan Desa
Adat Tenganan Pegringsingan belum berubah. Tapi perubahan-perubahan fisik
berupa penambahan bangunan pada ruang desa dan pekarangan kini makin terasa.
Awangan tetap sebagai daerah bernilai utama tempat sebagian besar bangunan
religius. Semakin ke daerah pinggir, terletak pekarangan rumah tinggal daerah
bernilai nista. Yang paling pinggir adalah kuburan. Fasilitas umum baru
cenderung bertambah sejalan dengan program-program pembangunan pemerintah.
Namun ada perubahan mencolok. Salah satu pengaruh adanya fasilitas umum baru
adalah berkurangnya pekarangan rumah tinggal desa karena pada pekarangan yang kosong
itulah pada umumnya fasilitas itu dibangun. Seperti bangunan rumah tinggal guru
di sebelah selatan gedung sekolah dasar, fasilitas tersebut tidak hanya
mengurangi pekarangan rumah tinggal milik desa, tapi juga merusak tatanan yang
ada karena dibangun tidak sesuai dengan nilai-nilai tradisi setempat. Beberapa
fasilitas umum baru lainnya (listrik, telepon, air bersih, parkir) dibangun
sesuai dengan pola lingkungan yang sudah ada.
Menjadi pedagang membawa konsekuensi: natah
disiasati menjadi ruang multifungsi sehingga menyebabkan di zona bale buga
dibangun warung (gambar atas). Bale buga menjadi lebih kecil
Pada umumnya tata letak bangunan-bangunan
(bale-bale) dalam pekarangan masih tetap mengikuti tata nilai Tri Mandala
(utama-madia-nista). Bale yang dikategorikan suci seperti buga dan sanggah
terletak di depan dekat awangan, bale profan seperti bale tengah dan meten
terletak di tengah, sedangkan bangunan pelayanan seperti paon (dapur), kamar
mandi/wc, serta ruang cuci terletak di belakang dekat teba. Pada beberapa
pekarangan tempat berjualan mendominasi bale-bale lainnya.
Perubahan: rumah adat: fungsi rumah sebagai
rumah tinggal dan ruko (ruang yang ada dalam rumah lebih banyak dipakai untuk
kepentingan perdagangan) dan terjadi pengaburan; zona natah berubah sebagai
tempat memajang barang-barang dagangan sehingga semua ruang seolah menempati
nilai madya/nista (Modifikasi Runa, 1993: 99 dalam Sudarma, 2003:42).
Unit-unit bangunan baru selain bale-bale dan
sanggah seperti ruang tidur, ruang kerja, tower air, dan gudang pada umumnya
diletakkan di daerah nista. Kamar mandi/wc yang dulunya terbuka, kini hampir
semua berupa kamar mandi/wc tertutup, letaknya di daerah nista sebelah selatan
dapur. Bale meten dalam fungsi komersial untuk mengantisipasi industri wisata
Di balik variasi tata fisik tersebut tampaknya
tersirat adanya kelompok status sosial: kelompok elit, kelompok terdidik,
kelompok kaya serta kelompok hamba desa (wong angendok jenek). Kelompok elit
atau bangsawan, statusnya tercermin pada bale buga yang besar (3 sela). Variasi
perubahan unit-unit bangunan mereka relatif kecil (sedikit).
Kelompok terdidik/berpendidikan lebih tinggi
dibanding warga lainnya, statusnya tercermin pada bangunan bale meten. Bale ini
banyak berubah menjadi bangunan "modern" seperti di kota. Mereka
membangun bangunan yang ruangnya kompleks, efisien, sistem strukturnya menyatu
antara struktur utama, dengan struktur sekundernya, berfasade tertutup, serta
cenderung menggunakan. material buatan. Pintu masuk pekarangan dilengkapi dengan
ramp untuk memperlancar keluar masuknya kendaraan bermotornya.
Kelompok kaya, statusnya tercermin pada langgam
bangunan yang digunakan yaitu langgam tradisional Majapahit dengan berbagai
ornamen berbentuk pepalihan pepatran dan kekarangan dari material kayu, batu
padas, dan batu bata. Pada beberapa rumah keseluruhan ornamen tersebut diukir.
Tentu saja langgam tersebut memerlukan biaya cukup besar. Ciri lainnya adalah
banyaknya barang dagangan dipajang pada bangunan, termasuk di halaman depan
(awangan), natah ditutup, papan nama dan secara keseluruhan variasi perubahan
rumah tinggalnya lebih besar dibanding kelompok elit desa.
Kelompok hamba desa (wong angendok jenek), yang
ciri-cirinya antara lain pada kualitas unit bangunan umumnya lebih rendah
dibanding ketiga kelompok sebelumnya. Tata letak dan dimensi bangunan sakral
tidak sepenuhnya mengikuti aturan desa adat setempat; seperti tata letak
sanggah kelod, sanggah kaja, bahkan pamerajannya, cenderung menggunakan
material buatan yang murah dan praktis. Langgam yang dipakai kebanyakan tanpa
ornamen, sistem struktur dan konstruksinya fungsional. Kelompok ini umumnya
tinggal di Banjar Pande.
Budaya Arsitektur Desa Bali
Aga Tenganan
Pola permukiman Desa Tenganan mengelompok di tengah-tengah
desa, dikelilingi oleh Bukit Kangin, Bukit Kauh dan Bukit Kaja. Sedangkan di
selatan merupakan pintu keluar desa menuju Sedahan, desa tetangganya. Secara
umum, struktur desa tersusun atas empat arah mata angin yang sekaligus
merupakan ''lawangan''. Aktivitas kehidupan terletak pada bagian tengah,
sementara sisi barat dan timur difungsikan untuk kuburan, sisi utara sebagai
sumber ekonomi atau pertahanan pangan, dan sisi selatan difungsikan untuk pemujaan
terhadap leluhur.
Permukiman terletak di sisi Barat Daya wilayah desa,
menempati lahan seluas 300x800 meter. Permukiman terdiri dari tiga banjar,
leretan yaitu Banjar Kauh di sebelah barat, Banjar Tengah, dan Banjar Kangin
atau Pande di sebelah timur. Banjar Kauh dan Tengah adalah banjar ‘asli’
Tenganan Pegringsingan, sementara Banjar Pande merupakan banjar yang dihuni
warga yang pernah melanggar aturan adat dan orang luar yang diminta desa adat
tinggal untuk keperluan upacara. Setiap warga Tenganan yang sudah menikah,
terutama warga Banjar Kauh dan Tengah diharuskan berpisah dengan orang tuanya
dan menempati rumah mereka sendiri yang dibangun di atas lahan kosong. Rumah
yang dibangun harus mengikuti struktur rumah Tenganan.
Desa yang luasnya sekitar 1500 hektar ini tetap
mempertahankan bangunan-bangunan penting dan rumah-rumahnya seperti aslinya,
yatu tiga balai desa dan rumah-rumah adat yang berderet dan sama persis satu
dengan lainnya. Sepanjang jalan setapak, terdapat ratusan rumah berderet berhimpitan.
Hampir semua bangunan terbuat dari batu bata merah atau batu kali yang ditambal
dengan tanah. Uniknya, pintu masuk rumah penduduk itu sempit, hanya berukuran
satu orang dewasa, dan bagian atas pintu menyatu dengan atap rumah yang terbuat
dari rumbia.
BAB III
PENUTUP
1.
Kesimpulan
Dari
uraian di atas dapat penulis simpulkan bahwa Bali adalah salah satu pulau di Indonesia yang memiliki berbagai
macam kebudayaan dan adat istiadat. Kebudayaan Bali pada hakikatnya dilandasi
oleh nilai-nilai yang bersumber pada ajaran agama Hindu dan masyarakat Bali itu
sendiri. Identitas kebudayaan masyarakat Bali ada yang asli dari daerah Bali
disebut dengan Bali Aga. Masyarakat Bali
Aga terdapat di beberapa desa yang ada di Bali, seperti Desa Tenganan. Kebudayaan
yang terdapat di Desa Tenganan mempunyai karakter tersendiri, seperti
kebudayaan keseniaanya. Kesenian desa Tenganan unik dan menarik. Kesenian itu,
diantaranya seni kerajinan kain gringsing, seni prasi, seni, geret pandan, dan
seni arsitektur bangunannya. Kesenian tersebut mempunyai sejarah dan keunikan
tersendiri.
2.
Saran
Dari
uraian di atas penulis dapat menyarankan bahwa, desa Bali Aga mempunyai
kesenian yang begitu menarik dan unik. Oleh karena itu, kita sebagai masyarakat
Indonesia, khususnya masyarakat Bali harus tetap melestarikan dan menjaga
kesenian tersebut agar tidak punah dan di akui oleh orang lain. Selain itu,
kesenian-kesenian tersebut harus diturunkan ke generasi selanjutnya dengan
tetap mempertahankan kebudayaan, tradisi, dan adat istiadat yang ada.
DAFTAR PUSTAKA
Depdiknas. 2006.
Standar isi 2006 “Mata Pelajaran Seni Budaya”. Jakarta: Pusat KurikulumBadan
Penelitian
Dwijendra,
Ngakan Ketut Acwin.2009. Arsitektur dan Kebudayaan Bali Kuno. Udayana
University Press.
Sudarma.
2006. Arsitektur dan Kebudayaan Bali Desa Tenganan. Denpasar.
Daftar
laman:
Kayam Umar. (1981). Seni Tradisi Masyarakat. Jakarta ; Sinar
Harapan.
http://e-kuta.com/blog/tempat-wisata/berwisata-di-desa-tradisional-tenganan.html